Aku Ingin Bernama Ayyash

Posted by Fursan Allail On 20:02 | 1 comment

Penulis: Gusrianto

Pertengahan November, 2008

Aku ingin bernama Ayyash, lengkapnya Yahya Ayyash. Keren bukan? Kata orang, Ayyash adalah seorang warga Palestina yang sangat pemberani. Dia adalah tokoh pejuang Hamas yang telah banyak membunuh tentara Israel dengan tangannya sendiri. Ayyash adalah seorang pemuda yang mencintai agama dan Tuhannya.. Ayyash adalah pemuda saleh yang mati terbunuh oleh agen suruhan Mossad. Teman-temannya mengatakan kalau Ayyash syahid, dan surga adalah balasannya. Aku membaca semua itu dari buku-buku dan klipingan koran yang dikumpulkan papa di ruang kerjanya. Aku ingin, setelah besar nanti aku bisa seperti Yahya Ayyash, aku ingin mati syahid dan mendapatkan ganjaran surga, makanya aku ingin bernama Ayyash, semoga keberaniannya bisa tertular padaku.

Oh ya, namaku Thomas, umurku baru 10 tahun. Aku adalah anak tunggal Mama dan Papa. Papaku seorang tentara, pimpinan pula. Kami tinggal di sebuah apartemen mewah di tengah-tengah kota. Akhir-akhir ini, Papaku sangat sibuk sekali. Kata Mama, Papa sedang mempersiapkan perang. Perang? Ah, aku sangat tidak suka dengan kata itu. Tidak ada perang yang tidak meneteskan darah. Tidak ada perang yang tidak merenggut nyawa.

Pagi ini, aku berangkat sekolah seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Hampir semua topik pembicaraan teman-temanku dan juga guru adalah kebencian terhadap rakyat Palestina, sama seperti bencinya papa terhadap mereka.

“Bom bunuh diri, benar-benar perbuatan keji dan tidak berperikemanusiaan.”

“Itu hanyalah pekerjaan teroris.”

“Semoga mereka bisa secepatnya di tumpas.”

Kata-kata itu, hampir setiap hari kudengar. Tidak hanya di ruang kelas. Seluruh siaran televisi juga menyiratkan kebencian itu. Sorakan membahana akan terdengar serentak saat pembaca berita mengatakan sebuah rudal tentara Israel berhasil memporak porandakan sebuah kamp pengungsian rakyat Palestina. Sebaliknya, makian dan hujatan akan terlontar saat pembaca berita mengatakan bahwa seorang pemuda palestina meledakkan dirinya di sebuah restoran tempat para tentara Israel melepaskan lelahnya.

Dari semua anak-anak di sekolah, mungkin hanya aku yang tidak ikut menghujat-hujat para pemuda Palestina itu. Saat semua orang bersorak ketika mendapat kabar sebuah rudal tentara Israel berhasil memporak-porandakan sebuah kamp pengungsian rakyat Palestina, aku malah berlari bersembunyi, bahkan hingga ke kamar mandi. Di sana aku berdoa, Ya Tuhan, selamatkan mereka, selamatkan mereka dari kekejaman tentara-tentara suruhan papaku.

Lain lagi ketika orang-orang memaki dan menghujat Palestina ketika seorang pemudanya meledakkan diri di sebuah restoran tempat para tentara Israel melepaskan lelahnya, aku kembali lari bersembunyi, bahkan hingga ke kamar mandi. Di sana aku tersenyum sembari mengucap syukur, Ya Tuhan, terima kasih kau telah membantu mereka.

Aku sangat kagum saat mendapat cerita kalau seorang bocah Palestina berhasil melukai tentara Israel dengan lemparan batu di tangannya. Bocah Palestina? Batu? Aku yakin dia seumuran dengan ku. Begitu beraninya dia. Melawan todongan senapan tentara Israel hanya dengan lemparan batu. Hal itulah yang membuatku kagum dengan mereka. Darimana datangnya keberanian itu? Pasti ada tangan-tangan tidak kelihatan yang menggerakkannya

Aku tak kalah kagumnya saat mendapat cerita seorang pemuda meledakkan dirinya bersama bahan peledak yang melilit hampir di sekujur tubuhnya di tengah gerombolan tentara Israel. Begitu beraninya. Hal itulah yang membuatku kagum dengan mereka.

***

Akhir November 2008

Dari keterangan mama, akhirnya aku tahu juga, dalam waktu satu atau dua minggu ke depan, papa akan megerahkan anak buahnya untuk memporakporandakan Palestina. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Suatu hari, diam-diam aku masuk ke dalam bagasi mobil papa. Aku dengar pembicaraannya dengan mama semalam. Dia akan ke kota Gaza, ada pertemuan dengan beberapa tokoh terkemuka Palestina. Inilah saatnya, batinku. Lalu sebelum Papa dan mama bangun, diam-diam aku menyelinap ke dalam bagasi mobil papa. Sambil tak hentinya berdoa, Ya Tuhan, izinkan aku bertemu mereka, walau tidak bisa bermain dan bersahabat dengan mereka, izinkan aku melihat bocah-bocah pemberani itu dari dekat, tak perlu banyak, satu saja diantara mereka bisa kujadikan kawan, maka aku akan sangat senang.

Aku meringkuk kepanasan di dalam bagasi mobil papa. Aku sudah siap menerima apapun resiko yang akan terjadi seandainya papa tahu apa yang telah kulakukan.

Tapi semua berjalan sesuai rencana. Aku yakin. Tuhan telah menolongku.

Tidak ada yang melihat ketika bagasi mobil papa kudorong dari dalam mobil. Dengan gerakan yang sangat cekatan aku segera melompat ke luar. Lalu menyelinap di antara mobil-mobil yang diparkir. Aku berjalan menjauhi gedung pertemuan tempat papa tengah bermusyawarah dengan beberapa orang pimpinan Palestina.

***

Entah sudah berapa lama aku berjalan, dan sekarang aku entah berada di mana. Matahari sudah condong ke barat saat aku tiba di pinggir sungai Yordan. Di atas batu-batu kerikil kecil di pinggir sungai, aku melihat seseorang (usianya mungkin sama denganku) sedang beribadah. Aku tahu, dia sedang shalat. Aku duduk di balik sebuah batu besar berjarak sekitar 30-an meter darinya. Beberapa saat kemudian, kulihat seorang anak berusia jauh lebih muda datang berlari menghampiri anak yang sedang shalat itu.

“Ahmad, ada apa? Seperti dikejar tentara Israel saja.” Kulihat dada anak yang dipanggil Ahmad turun naik, nafasnya memburu.

“Benar, Bang. Tadi Ahmad melihat tentara Israel memasuki desa. Dua mobil besar. Ahmad takut, makanya Ahmad menyusul Bang Hamid ke sini.” Tergesa-gesa Ahmad memberikan laporan. Aku sangat terkejut mendengar penuturan Ahmad. Tentara Israel ke sini? Apakah mencariku? Mengapa secepat itu mereka mengetahui kalau aku berada di sini? Aku sangat yakin sekali sudah berjalan sangat jauh. Bahkan bekal makanan dan minuman yang tadi pagi memenuhi tasku sudah tidak tesisa lagi.

“Apa yang mereka cari di sini?” kata anak yang tadi shalat. “Mari kita pulang.”

“Tapi, Bang…” Ahmad tampak khawatir.

“Ahmad, seorang mujahid tidak boleh takut. Hanya murka Allah yang pantas ditakuti.”

Sebelum kedua anak itu pergi, aku segera keluar dari persembunyian dan berteriak memanggil mereka.

“Tunggu!” kataku sambil berlari menghampiri.

Mereka tampak terkejut. Lalu menatapku tanpa berkedip.

“Tentara itu pasti mencariku, tapi kumohon, tolong bantu aku, sembunyikan aku agar mereka tidak menemukanku.”

Kedua kakak beradik hanya saling pandang, kebingungan.

***

Awal Desember 2008

“Ayo gempur….! Habiskan zionis itu!” Omar berteriak-teriak sambil memberi semangat anak buahnya. “Palestina milik kita, usir mereka yang seenaknya saja menganggap ini tanah nenek moyang mereka! Ayo gempur, lemparkan batu-batu di tanganmu, ini tanah leluhur kita, tanah nenek moyang kita, tanahnya para Rasul dan para Anbiya…!” dan terdengarlah suara dor…dor…dor dari mulut bocah itu.

“Syech Ahmad,” tak lama kemudian seorang anak menghadap Omar yang dari tadi hanya duduk di atas sebuah batu besar –sambil memberi perintah-, “Kita menang, Zionis menyerah.” Lanjutnya.

Lalu terdengarlah sorakan menggema. “Hidup Palestina, hidup Syech Ahmad…” beberapa orang teman Omar mengangkat-angkat Omar.

Saat itulah tanpa mereka sadari dua orang tentara Israel lewat melintasi lapangan. Mereka masih berteriak-teriak memuji Hamas dan memaki-maki tentara zionis, dan baru terdiam ketika kedua tentara itu benar-benar telah dekat.

Anak-anak itu saling pandang. Ada yang mundur sedikit demi sedikit, ada yang malah menatap tajam tanpa takut, sedang Omar sendiri langsung memegang ketapel –alat pelontar batu- yang dikalungkan di lehernya.

“O…jadi kamu pimpinannya? Kamu Achmad Yasin ya?” ejek salah seorang tentara.

“Ya!” Omar menjawab mantap. Kedua tentara itu saling pandang dan kemudian mengangguk, seolah sudah biasa melakukan percakapan hanya lewat mata.

“Baiklah, kami antarkan keinginanmu menjadi si tua yang pincang itu, agar setelah ini kursi roda yang jadi teman setiamu.” Lalu salah seorang menarik sebuah pistol dari pinggangnya dan -tanpa basa-basi- langsung menembakkan ke lutut Omar, lalu seperti tidak terjadi apa-apa, mereka berlalu.

Darah mengalir deras dari kaki Omar. Sebelum pandangannya benar-benar gelap, Omar masih sempat meneriakkan kata ‘serang’ pada teman-temannya. Mereka langsung tanggap. Masing-masing meraih alat pelontar batu di leher masing-masing. Lalu terdengarlah jeritan kedua tentara Israel tadi. Lontaran dan lemparan batu itu segera mereka balas dengan berondongan peluru-peluru panas. Akibatnya belasan anak itu roboh, hanya tiga orang yang selamat, termasuk Omar yang pingsan karena banyak mengeluarkan darah.

Aku menyaksikan semua itu dari dalam sebuah gubuk kecil tidak jauh dari sana. Sudah satu minggu aku tinggal bersama Hamid dan Ahmad, mereka yatim piatu. Orangtua mereka tewas di bantai tentara Israel, kedua abang mereka juga mengalami nasib yang sama.

Sejak awal aku memang sudah bertekad akan menerima perlakuan apapun yang akan mereka berikan padaku. Keinginanku hanya ingin melihat bocak Palestina dari dekat, dan itu sudah terkabul saat pertama kali bertemua Hamid dan Ahmad. Aku sudah siap untuk dibunuh, karena aku adalah anak seorang jenderal pembunuh. Tapi ternyata tidak. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik.

Hamid dan Ahmad tinggal di sebuah desa kecil di pinggi sungai Yordan, sekitar 40 km dari pusat Gaza. Saat pertemuan dulu, masih dalam kebingungan, akhirnya mereka mengajakku ke dalam kampung, dan mengantarkan pada rumah seseorang yang aku yakin adalah orang yang disegani di kampung itu. Mereka menanyakan siapa aku.

Tanpa sungkan aku langsung bercerita, bahwa aku adalah seorang anak tentara Israel, papaku adalah pimpinan satu batalyon tentara. Aku katakan bahwa aku lari dari rumah untuk berkenalan dengan anak-anak Palestina yang pemberani. Aku juga mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan ada serangan dari tentara Israel. Dan terakhir, aku mengatakan kalau aku ingin bernama Ayyash, aku ingin bisa berani seperti Ayyash. Aku mencintai sosok Ayyash, dan sangat membenci tentara Israel.

Akhirnya mereka menerimaku. Mengizinkanku tinggal bersama Ahmad. Mengizinkanku bermain perang-perangan bersama anak Palestina, walau aku lebih sering di suruh bersembunyi, takut ada yang melihat.

Berita kehilanganku sudah tersebar kemana-mana. Fotoku terpampang dengan jelas di koran-koran, pemberitaan di radio juga sangat sering mengabarkan tentang diriku. Tapi aku sudah bertekad untuk tidak pulang, aku bahagia berada bersama orang-orang Palestina.

***

Minggu ke dua Desember 2008

Masih terlalu pagi saat aku turun dari mobil yang mengantarku ke perbatasan antara Palestina dan Israel. Hamid dan Ahmad memelukku lama.

“Ayyash, apakah kita akan bertemu lagi?” begitu kata Hamid saat memelukku.

Aku hanya tersenyum, “Pasti” jawabku kemudian, lalu dalam hati aku melanjutkan, kalau tidak di dunia, insyaallah di surga.

Aku turun dari mobil. Lalu menyuruh mereka yang mengantarku untuk segera pergi. Bisa bahaya kalau ada tentara Israel yang sedang patroli. Sementara itu, aku segera mengendap-endap memasuki daerah perbatasan.

“Tolong…tolong… kataku sambil berlari begitu melihat dua orang tentara Israel yang tengah mondar-mandir dekat pintu gerbang perbatasan.

Mereka langsung menyorotkan bola senter yang sangat terang ke arahku.

“Bukankah itu Thomas?” kata salah seorang sebelum akhirnya aku jatuh ke tanah. Pingsan? Tidak. Aku hanya pura-pura. Aku sangat malas melayani rentetan pertanyaan yang pasti mereka ajukan. Aku hanya ingin secepatnya mereka mengantarku pulang ke rumah. Aku rindu susu hangat buatan mama.

“Thomas…” mama langsung memelukku begitu keesokan harinya aku membuka mata. Aku yakin sekarang aku sudah berada dalam kamarku. “Thomas, apa yang terjadi?”

Aku tersenyum dan menceritakan semuanya. Bahwa aku diculik oleh dua orang anak buah papa yang sangat membenci papa, lalu aku disiksa dan menjualnya dengan harga sangat mahal kepada warga Palestina untuk dijadikan sandera, tapi orang Palestina malah sangat menyayangiku. Setelah merawatku dan menyembuhkan semua luka-lukaku, aku kembali di antar pulang. Aku mengakhiri ceritaku dengan senyuman. Ketika papa menanyakan siapa kedua orang anak buahnya itu, aku dengan fasih segera menyebutkan nama mereka.

“Tapi mereka pasti hanya suruhan, Pa, pasti ada yang menyuruh, rekan papa yang iri sama Papa.”

Tak lama setelah itu aku mendengar kabar kematian kedua anak buah papa itu. Aku tersenyum. Beginikah rasanya menjadi Ayyash? kebahagiaan selalu menyelimuti. Tak ada keraguan dalam menghadapi apapun.

***

“Sampai kapan papa akan terus berperang?” kataku keesokan hari pada papa.

“Perang ini akan segera berakhir, sayang?” Papa mejawab sambil memelukku.

“Tapi kapan? Sampai seluruh anak-anak Palestina itu mati terbunuh?” Papa memandangku dengan tajam. Mungkin tidak suka dengan apa yang kubicarakan.

“Tentu saja sampai kita menang. Sampai Al Aqsa rata dengan tanah, dan di atas puing-puing Al Aqsa kita akan membangun Al Haikal, tempat peribadatan ummat Yahudi. Dan itu akan terkabul dalam waktu tidak lama lagi.”

Setelah berkata begitu, Papa meninggalkanku, ada sebuah pesan masuk di ponselnya. Setelah papa menghilang, aku segera memasuki ruang kerja papa. Membongkar semua laci-laci, lalu tanpa membaca, aku memasukkan beberapa buah surat dan dokumen yang mungkin saja berharga ke dalam sebuah koper kecil milik papa. Aku memadati koper-koper itu dengan kertas-kertas dari dalam laci meja kerja papa. Lalu kemudian meninggalkan ruangan itu dan buru-buru masuk ke kamarku. Malam ini, seperti yang telah kujanjikan dengan Hamid dan beberapa orang lainnya, aku akan memberikan koper-koper berisi dokumen-dokumen itu, semoga saja ada beberapa yang berharga. Malam ini, aku akan meninggalkan mama dan papa untuk selamanya, aku akan bergabung dengan bocah-bocah pemberani itu, sampai Ayyash datang menjemputku.

***

Tidak sampai lima belas menit aku menunggu saat kulihat dari kejauhan sebuah cahaya berkedip berulang-ulang kali dalam interval 5 detik. Aku segera menuju ke arah cahaya itu. Hampir dua minggu aku dan Hamid tidak bertemu. Masih banyak hal yang harus kupelajari darinya.

Aku sampai di sumber cahaya yang berkedip itu. Tiba-tiba lampu mobil menyala terang menerpaku. Mataku silau, berani sekali mereka menghidupkan lampu mobil, apakah tidak takut akan ketahuan?

Pertanyaanku terjawab saat satu sosok melangkah ke hadapanku. Papa!

“Thomas, apa yang kau lakukan malam-malam begini?” suara papa terdengar lain, sangat tidak bersahabat. Aku yakin, dia sudah mengetahui semuanya. Aku tidak perlu basa-basi lagi.

“Dimana mereka?” kataku.

Lalu sesosok tubuh bersimbah darah dilemparkan kehadapanku. Aku langsung mengenali tubuh tak bernyawa itu. Hamid.

“Sekarang impas, dua nyawa anak buah papa yang melayang karena ulahmu telah tergantikan dengan tujuh nyawa para sahabatmu.” Lalu tubuh-tubuh lain dilemparkan begitu saja dari atas mobil, jatuh menimpa tubuh Hamid. “Sekarang Thomas, cepat serahkan koper itu.”

Aku tersenyum.

“Papa, aku bukan Thomas, namaku Ayyash, lengkapnya Yahya Ayyash.” Lalu aku menarik sesuatu dari balik bajuku dan dengan cekatan menyambungkan kabel merah dan kabel biru yang melilit di badanku. Tak sampai waktu satu minggu bagi Hamid mengajarkan ini padaku dulu hingga aku benar-benar mahir. Di angkasa yang gelap, aku melihat satu sosok lelaki berpakaian serba putih tersenyum padaku, pasti itu adalah Ayyash yang datang menjemputku.

Payakumbuh, Februari 2009

Mengenang Yahya Ayyash

1 comment:

  1. Sungguh cerita yg mengharukan dan menginspirasi...
    Apakah ini nyata?

    ReplyDelete