Penulis: Rifatul Muna
Detik itu entah mengapa aku tak sanggup bila tak tersentuh jemarinya yang teramat lembut nan sayang. Jemarinya terasa menjangkauku lembut, menembus kulit perutnya yang kian hari kian membesar. Membelaiku sayang. Ia yang belum kuketahui keberadaannya. Wajahnya yang entah selalu membayangiku setiap kali ia mengelus-elus perutnya yang mulai membuncit karena terisi olehku. Mungkin karena tubuhku yang semakin tumbuh besar setiap bulannya. Membuatnya agak payah setiap bergerak ataupun tak bergerak. Ia yang tak pernah kubalas dan sama sekali tak minta kubalas semua kepayahannya selama aku berada di dalam rahimnya, dunia pertamaku.
Aku geli mendengar gelitik tawa kecilnya yang renyah jika aku mulai bergerak-gerak dan menendang-nendangkan kakiku ke perutnya. Membuat kulit perutnya menonjol kecil karena terdesak oleh kakiku. Terkadang, ia melantunkan senandung yang indah di tiap-tiap baitnya. Aku dibuatnya takjub. Meski terasa asing, tapi anehnya aku selalu merasa lebih tenang. Kakiku yang tadinya mendesak-desak perutnya tiba-tiba terhenti bergitu saja. Tak dipungkiri lantunan itu terkadang bisa membuatku terkantuk-kantuk sampai akhirnya meninabobokan diriku.
Detik itu entah mengapa aku teramat menyayanginya. Lebih dari dunia seisinya. Dengan segenap jiwa raga aku rela berkorban apa saja untuknya. Membersihkan ember bekas buang airnya. Mengelap tubuhnya. Mencuci bajunya yang berbau anyir. Mengobati luka infeksi di kaki hingga paha sebelah kanannya yang penuh nanah dan darah. Menggantikan apapun tugasnya. Mungkin karena akulah anak perempuannya yang paling besar. Aku merasa semua tanggung jawabnya kontan beralih padaku. Meski waktu itu aku baru duduk di kelas enam SD. Dua belas bulan lamanya aku berusaha keras untuk menerima dan memaklumi keadaan ibu yang hanya mampu menggunakan tangan dan pantatnya untuk berjalan.
Tidak sia-sia kelas empat SD aku sudah diajarkan untuk disiplin mencuci baju sendiri. Menyetrika baju seragamku sendiri dan seragam adikku. Selain itu aku juga diajari ibu memasak. Walaupun cuma memasak nasi dan menjerang air. Terus terang ibu memang tidak begitu bisa menyetrika baju. Kalaupun bisa hasilnya malah tidak karuan. Melipat bajupun ibu tak pernah rapi. Tak ayal aku dan adikku selalu kelimpungan ketika akan berangkat sekolah. Ibu tidak pernah sekalipun menyiapkan baju seragam untuk kami pakai ke sekolah seperti ibu-ibu temanku. Setidaknya begitulah yang kulihat dari teman-temanku.
Dulu, jauh sebelum aku bisa mencuci baju sendiri hampir tiap pagi aku dan adikku ribut menguber-uber baju seragam dan kaos kaki yang tinggal sepasang. Lipatan baju ibu di lemari yang tadinya memang diletakkan tak teratur menjadi awut-awutan oleh ulah kami berdua. Kadang-kadang aku terpaksa memakai bawahan coklat di hari senin karena bawahan adikku belum juga ditemukan. Adikku akan ngambek dan nangis kalau tidak sesuai seragamnya. Tidak jauh berbeda dengan diriku waktu masih kelas satu dan dua dulu. Dan kali ini aku harus mengalah dan merelakan rokku untuk dipakai. Meski rokku lebih longgar, namun adikku tetap bersikeras. Biasanya ibu selalu berteriak dari arah dapur memarahiku karena tidak mau menyematkan peniti pada rokku yang akan dipakai adikku agar pas di badannya.
“Ilma, bantu adikmu pakai roknya.” Teriak ibu dengan keras dari arah dapur.
“Tapi itu rok Ilma Bu..” Ngototku tidak terima. Menuding rokku yang pindah ke tangan Ilmi yang kemudian mendekapnya erat-erat. Takut kurebut.
“Bukan, ini rok untuk Ilmi.” Sela adikku. Lalu terjadilah tarik menarik rok antara aku dan adikku.
“Ilma..... cepat, bantu adikmu. Kamu kan kakaknya. Mengalahlah. Kamu pakai bawahan yang coklat aja. Punyamu masih basah di jemuran. Ibu minta maaf Ilma, bajumu tertinggal waktu kemarin ibu mencuci. Jatuh kemudian terselip di kolong tempat tidur dan baru ketahuan esoknya. Kemarin baru ibu cuci, tapi hujan. Jadi sekarang belum kering.” Tukas ibu panjang lebar menengahi kami. Kali ini suaranya lebih rendah. Sambil membawa sebuah nampan berisi nasi urap kelapa dan tempe goreng, menu yang sudah menjadi andalan ibu untuk sarapan keluarga kami.
Maklumlah ibu harus pintar-pintar menyiasati agar anak dan suaminya tetap bisa makan. Walaupun sebenarnya gizinya terancam berkurang. Apa boleh buat. Bapak hanya seorang kuli bangunan biasa.
Selalu begitu. Kalau tidak basah pasti belum dicuci. Masih mending kalau belum dicuci aku bisa memakainya. Tapi kalau basah. Tau ah.
“Nggak! Ilma nggak mau.” rajukku.
“Ilma... mengalahlah Nduk1!” bujuk ibu padaku. Tangannya lihai membagi-bagi nasi tanpa sedikitpun merasa panas. Untuk porsi adikku selalu dibuat kepalan-kepalan kecil sebiji salak. Pernah aku yang membuat kepalan-kepalan itu. Kata Ilmi kepalan-kepalanku tidak sesedap buatan ibu. Padahal nasi masih terlihat mengepul.
Tangan ibu rupanya telah terbiasa. Ibu lalu membagi nasi menjadi lima bagian sama rata. Seperti biasanya. Untuk aku, adikku, dan ketiga kakakku yang semuanya laki-laki. Setelah sebelumnya ibu telah menyisihkan sepiring nasi urapnya khusus untuk bapak. Tulang punggung sekaligus kepala keluarga yang mencari nafkah untuk kami semua harus mendapat porsi besar agar memperoleh tenaga maksimal sehingga bisa bekerja dengan stamina yang prima. Begitu kata ibu saat suatu hari adikku bertanya mengapa porsi bapak lebih besar. Sekalipun begitu, bapak seringkali memberi separuh jatahnya itu untuk dibagi rata pada nampan kami.
“Ilma, cepetan bantu adikmu pakai roknya. Tangan ibu lengket kena nasi nih.” Seloroh ibu padaku.
“Ayo dek, sini cepat. Udah telat nih.” Sungutku. Dan akhirnya aku harus mengalah lagi. Biarlah. Kasihan . Otakku berusaha mencari alasan yang tidak sama agar guru piket tidak memarahiku. Walaupun dengan sangat terpaksa, kukenakan juga bawahan coklat dan atasan batik di hari rabu. Entah untuk ke sekian kalinya.
Apa yang dialami adikku masih mendingan. Seragam putih-merahnya hanya untuk senin dan selasa. Dua hari setelahnya pakai baju batik dan rok merah. Sedangkan aku selama empat hari berturut-turut harus pakai seragam putih-merah. Terkadang aku sengaja memakai seragam putih-merahku empat hari berturut-turut. Terpaksa karena belum dicuci. Ibu sering terlupa dan telat mencucinya. Bahkan lebih tragis lagi. Hampir tiap hari rabu aku selalu memakai bawahan coklat. Lagi-lagi karena ibu terlanjur mencuci lalu tidak kering karena mendung. Padahal esoknya harus kukenakan. Apa boleh buat bawahanku memang cuma satu. Nggak lucu kan kalau aku memakai celana abangku.
Ibu selalu telat mencuci seragamku. Pernah aku mogok tidak mau masuk sekolah karena sudah terlambat satu jam gara-gara mencari seragam. Namun, ibu selalu mengantarku ke sekolah hingga ke kelas dan menceritakan semuanya pada guruku. Guruku sepertinya sudah hafal betul dengan hal ini. Teman-teman banyak yang mengejekku. Anehnya hal itu selalu terulang kembali. Entah mengapa ibu terkesan menelantarkan kami. Pada detik itu entah mengapa aku begitu membencinya. Aku begitu merindukan sosok ibu seperti ibu teman-temanku yang selalu perhatian pada anaknya.
Detik itu entah mengapa aku tak pernah bisa menghadirkan senyum di hatinya. Menjelmakan sebentuk kebahagiaan yang tak pernah ia reguk kekekalannya. Aku bahkan tak memberinya penghargaan sedikitpun. Apresiasi terhadap hasil jerihnya untukku. Entah mengapa hatiku begitu dibutakan oleh ambisi dan keindahan semu. Air mataku selalu menitik bila mengingatnya.
“Ilma, ibu punya sebuah kejutan untukmu. Rene a Nduk2!” Seru ibu suatu petang. Di lehernya masih terkalung sebuah meteran jahit yang usang. Angka-angkanya banyak yang terhapus. Warnanya pun telah pudar.
“Kejutan apa Bu?” tanyaku tak sabar.
“Ibu membuat rok untuk seragam sekolahmu. Tapi, mungkin buatan ibu tak sebagus punya teman-temanmu. ” bisik ibu.
“Oh.” Kataku datar sama sekali tak tertarik. Aku merasa baju-baju yang dibuatkan oleh ibu tak pernah cocok buatku. Ibu kurang mahir menjahit namun tak pernah putus asa untuk selalu mencobanya.
“Jajal a Nduk3.” Lanjutnya seraya menyunggingkan sebuah senyuman. Aku mencobanya. Ternyata roknya kurang panjang. Aku mencoba menarik-narik roknya ke bawah. Namun lututku masih saja kelihatan. Ibu seperti mengerti. Senyum ibu mendadak terbang entah ke mana.
“Ibu minta maaf Ilma, roknya kurang panjang ya? Mungkin ibu salah memotong kainnya. Ibu kurang teliti. Tapi kamu mau memakainya kan? Ini hanya sedikit cingkrang4 kok?” bujuknya.
“Emoh5.” Kataku lalu dengan ringannya aku melempar rok ke lantai. Mencampakkannya begitu saja.Wajah ibu terlihat memucat.
Detik itu entah mengapa aku tidak menghargainya. Aku hampir tak pernah memberinya kesempatan. Kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya. Suatu hari ibu membelikan daging kesukaanku. Aku ingin memasaknya dengan menu lain yang baru kudapatkan di tabloid kesukaanku. Sebenarnya ibu bisa membuatnya. Namun aku tidak menyuruh ibu untuk memasaknya. Aku hanya mengutarakannya pada ibu. Namun yang terjadi ibu malah memasaknya begitu saja. Padahal aku ingin memasaknya sendiri. Hasilnya tentu saja tidak seperti yang kubayangkan. Aku marah-marah pada ibu yang diam saja. Aku sangat menyesal. Mengapa untuk hal yang sepele seperti ini aku begitu mempermasalahkannya. Ibu, maafkan aku.
Satu hal yang sangat kukagumi dari ibu. Ketabahannya. Tak pernah sekalipun aku melihat setitik air matanya yang jatuh. Sesedih apapun. Sekeras apapun. Sepahit apapun. Ibu tidak pernah mengeluhkan hidupnya.
Namun sekarang, aku yang baru saja tiga tahun menjadi ibu sudah pusing ini pusing itu. Tak karuan. Hanya karena kesalahan-kesalahan kecil dalam rumah tangga aku menangis. Hanya karena masalah rumah tangga yang sudah lazim menjadi bumbu pernikahan aku menyerah. Hanya karena masakanku tidak enak di lidah suamiku aku menangis. Padahal apa yang dialami ibu dulu jauh lebih menyedihkan dibandingkan dengan diriku. Masakan ibu berkali-kali diacuhkan bapak hanya karena menunya itu-itu saja. Aku baru tahu. Rasanya dada ini sesak dan perih sekali. Apa yang sudah kita buat dengan susah payah namun tidak dihargai. Detik ini entah mengapa aku begitu purnama merindukanmu ibu?
0 komentar:
Post a Comment