Siang di Gaza memang selalu panas. Walau bukan musim panas, hawa yang menyengat tubuh pasti ada, karena memang dingin tak akan mungkin meredam panas. Panas dunia dan panas perang yang melanda Palestina. Perang yang tiada peduli dengannya. terkecuali mereka yang benar-benar membuka lebar-lebar daun telinga dan kelopak matanya.
Dentuman meriam memekikkan suasana, terlihat tank-tank merkava milik negeri tak punya rasa berjalan gagah menubruk semua yang ada di hadapannya, tak peduli apa dan siapa.
“Naj, ayo cepat lari mereka mengejar kita!” kata Rama dan Samah.
“Biar! Aku tak takut pada mereka!” jawab Najah.
“Tapi……mereka bersenjata ampuh, kita hanya bertangan kosong, mungkin hanya batu-batu di kanan kiri kita sebagai senjata.”
“Ya, benar kau Rama, oleh karena itu aku ingin melihat kejantanan mereka, aku yakin Allah pasti menolongku begitu juga kamu jika kita berani!” kata Najah mantap.
Kendaraan berlapis baja pun semakin dekat dengan mereka, terlihat tentara bertopi hitam, bersiap meluncurkan rudal dia makin congkak dan arogan.
“Najah, tank itu semakin dekat!” kata Rama lagi.
“Sudahlah kalau kalian takut, lari sajalah kalian, tinggalkan aku, biarkan aku di sini sendiri!” Najah menyuruh Rama dan Samah.
“Hayya baz, Rama adzunnu annahu yastathi’u an yadfa’a nafsah.” Samah berpendapat.2
“Laakin, Samah, akhoofu Najah….”
“Labbaik, Samah!”3 Rama menjawab meskipun masih tersisa keraguan.
Rama dan Samah pun berlari meninggalkan Najah. Mereka mencari tempat persembunyian. Dan mereka bersembunyi di balik gundukan rompahan gedung rumah yang telah lama hancur. Mereka masih memperhatikan temannya yang satu itu. Mereka mengintip Najah dibalikgundukan. Sedangkan Najah semakin mendekat dengan tank itu, dia menegakkan badan dengan di tangannya sebuah batu cukup besar. Dia pun berteriak:
“Hai, tentara monyet! Beranikah kau kepada anak kecil sepertiku? Beranikah kau kepada hamba Allah seperti aku? Kalau kau jantan turun, sini hadapi aku!”
Kelihatannya tentara zionis marah mendengar perkataan Najah. Mereka seperti tertantang dengan perkataan Najah. Perkataan Najah bak sambaran petir bagi mereka.
Dengan menenteng senjatanya mereka turun dengan wajah merah penuh arogan.
Laksana binatang buas yang melihat hewan buruannya dan ingin menerkamnya. Mereka semakin mendekat dengan Najah. Tetapi Najah tak gentar. Bahkan sepertinya tentara itu semakin ragu dan takut. Dengan keberanian Najah mereka pun berhenti melangkahkan kaki seperti kehilangan tenaga.
Najah pun mempersiapkan tangannya untuk melemparkan batu.
“Hai, zionis drakula! Kenapa berhenti? Takut kalian?” Najah mengejek penuh sindiran.
“Heh, sini keturunan monyet bunuh aku, kalian membawa senjata kenapa harus takut, aku yang hanya membawa batu saja tidak takut, berarti kalian banci!” ledek Najah lagi.
Mendengar cemoohan dan sindiran Najah yang berulang kali, sehingga membakar kembali kemarahan mereka. Mereka mempersiapkan senjata, dan mengarahkannya kepada Najah. Saat itu Najah melemparkan Batunya ke salah satu tentara.
“Allahu Akbar, hiaaaa!” Najah bertakbir sambil melemparkan batu.
Batu melesat jauh. Tepat mengenai sebelah mata salah satu tentara.
“Ahh....awas kau bocah kecil!!” teriak lengking tentara itu.
Dan tentara lain pun terkejut atas perbuatan Najah itu.
“ Hayya qottilni,4 bunuh aku…!” Najah berkata penuh keberanian.
Tentara lain pun siap meluncurkan timah panah kepadanya. Mereka tengah mengarahkan tembakan. Dann…
“Doorrrr…dorrrr…….dorrrrrrrrr.”
Tembakan tentara Israel memuntahkan amunisi tajam.
Tiga timah panas tepat mengenai kepala dan perut Najah. Dan dia jatuh terkapar di atas tanah, matanya menatap langit yang mulai keliatan terlintang mendung. Dan berkata:
“ Laa ilaaaha illallah, Muhamaad rasuulullah!”
Tentara zionis tertawa terbahak-bahak ketika Najah mati. Dan seketika itu pula, Rama dan Samah lari terbirit-birit takut menjadi sasaran yang berikutnya. Tentara Israel melihat mereka dan mengejarnya.
“Hei, jangan lari kalian!” Salah seorang tentara berteriak.
Tetapi mereka berdua tetap lari penuh rasa takut yang berkecamuk di otak. Siang itu mereka tengah shaum ramadhan. Sehingga itu mempengaruhi stabilitas kerja tubuh mereka. Samah tak kuat lagi untuk berlari. Samah tersandung batu di jalan yang di laluinya. Rama sudah cukup jauh darinya.
“ Rama…. Rama!” Samah berteriak.
Rama menoleh kebelakang kaget dan segera mendekatinya.
“Kau tidak apa-apa, Samah?”
“Aku tidak apa-apa kok, cuma kesandung batu.”
“Ayo, Samah, berdiri! Tentara itu semakin dekat!” Rama berkata sambil mengangkat badan Samah.
Dan mereka mencoba berlari lagi, mencoba menghindari cengkraman hewan-hewan buas kelaparan lagi haus darah itu. Ternyata Samah tak sanggup lagi meneruskan larinya. Dia berhenti tak melangkahkan kaki. Tentara Israel pun melesatkan peluru kepadanya. Karena dia satu-satunya target yang terdekat. Timah panas manancap tepat di kaki kirinya. Dan yang kedua kalinya tembus tepat mengenai perutnya. Samah pun jatuh seketika. Rama yang telah lari jauh jaraknya darinya ingin kembali dekat dan menolongnya. Setelah mengetahui Samah tertembak dan terjatuh.
"Rama, pergilah kau tak usah kembali, pergi…!” teriak Samah di sisa nafasnya.
Akhirnya Rama memutuskan untuk meninggalkan Samah, dan terus berlari. Karena dia telah memikirkan hal-hal aneh yang semestinya tidak dia pikirkan termasuk takut mati, takut akan datangnya malaikat Izrail menjemputnya. Tentara Israel tak meneruskan pengejarannya. Mereka membiarkan Rama lari dari kejaran mereka. Mungkin mereka telah puas dari dahaga haus darah. Dua orang mungkin telah cukup bagi mereka. Rama terus berlari hingga rumahnya.
***
Menjelang maghrib, Rama menemui ibunya yang sejak tadi sehabis ashar menyiapkan menu untuk berbuka. Meski dibawah satu rumah yang berpenghuni dua manusia. Ibu Rama, tetap bersemangat dalam meladeni anaknya, apalagi di bulan ramadhan. Rama menuju meja makan, yang sudah lapuk di makan rayap. Tersedia kurma, awameh makanan khas ramadhan dan idhul fitri dan sirup khas palestina di atas meja. Rama duduk di kursi meja makan sambil menunggu ibunya duduk pula. Saat itu sang ibu meletakkan menu makan setelah shalat maghrib nanti.
“Ramadhan, dari mana saja seharian kok ibu tidak melihat kamu sama sekali?” tanya Ummi.
“Rama dari main bersama-teman,” jawab Rama tidak mengatakan yang sebenarnya.
“Kok mainnya lama sekali, dari mana saja?” tanya ibu lagi.
“Cuma di sekitar sini saja, Bu...” jawab Rama agak tergagap.
“Sungguh…?” ibu penasaran.
“Iya sungguh, Bu.” Rama meyakinkan ibunya.
Azan maghrib berkumandang dari masjid Ar-Rahmah. Tanda ifthor boleh dimulai. Maka setelah berdoa buka puasa Rama dan ibunya pun menyantap menu ifthor yang tersedia di meja. Dan ibunya menyuruh Rama untuk tak lupa berdoa kepada Allah SWT untuk ayahnya, yang telah lama dahulu kembali pada-Nya meninggalkan dia dan ibunya. Sebenarnya Rama masih bingung siapa sebenarnya ayahnya. Tapi menurut dia ayahnya adalah orang yang paling jahat sedunia, tak punya rasa prikemanusiaan. Karena meninggalkan dia dan ibunya sejak lama.
***
Shalat isya dan tarawih pun selesai di tunaikan. Ramadhan berdoa untuk kedua temannya yang mati, akibat kebiadaban zionis . Ia teringat pada perkataan ibunya, do’akan ayahmu Rama. Di situ otak Rama, kembali berpikir siapakah ayahnya sebenarnya, apakah benar yang ada di benaknya selama ini. yang menganggap ayahnya seorang penjahat yang tak tahu diri, meninggalkan dia dan ibunya dalam kesulitan hidup. Ketika pikirannya melayang telah melanglang buana. Seorang di samping Ramadhan bersalam kepadanya dan menyapanya.
“Betulkah kau Ramadhan, anak Baasil Qawasimi, qoid Brigade Izzudin Al-Qossam yang mati syahid beberapa tahun silam itu?” kata orang itu.
“Ya, benar,” jawab Rama.
Sebenarnya Rama sangat risih dengn kata syahid yang disandangkan kepada ayahnya.
“Apakah benar, pagi tadi kau bersama anak yang benama Najah al-Sumairi dan Samah Nawahi?”
“Benar.”
“Mengapa kau biarkan mereka syahid sedangkan engkau tidak?”
Pikiran Rama masih beku. Dia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Rama terdiam, tak sanggup mengeluarkan kata. Karena di otaknya ada permasalahan yang berbenturan, membuatnya tak berargumentasi.
Rama tetap tak sanggup menjawab. Karena dia bingung akan menfokuskan yang mana. Akhirnya dia pun mengeluarkan sebait kata. Bukan sebuah jawaban tetapi sebuah pertanyaan.
“Yaa, Sayyed, apa yang kau tahu dari ayahku?”
“Maksudmu apa, Rama?”
“Siapakah ayahku sebenarnya? Itu yang masih misterius di benakku.”
“Rama, kau tak tahu bagaimana kehidupan ayahmu?”
“Hanya yang biasa kudengar saja.”
“Rama, ayahmu adalah seorang Qoid Brigade Izzudin al-Qossam, beliau syahid sebelum kamu lahir. Beliau sangat dicintai oleh masyarakat, karena kebaikan hatinya dan keberaniannya menentang zionis.”
Sekian jam lamanya, orang itu bercerita apa adanya tentang ayah dan kehidupannya. Rama merasa telah terbawa kepada sejarah pahit Palestina dahulu kala, yang sampai sekarang tak terhenti. Tak terhenti kecuali lahir pejuang-pejuang Allah yang benar mengharap ridha-Nya. Kembali pikiran Rama dalam sebuah kerancuan. Apakah benar ayahnya seorang pejuang? Ataukah hanya seorang laki-laki yang sok jantan, sok berjuang melawan Israel tapi melalaikan kewajibannya terhadap keluarga yaitu memberikan penghidupan bagi istri dan anaknya, seperti dugaannya? tapi kalau memang benar dia adalah seorang pejuang, mengapa ruh pejuang tidak turun kepada jiwanya? Mengapa hanya sifat pengecut yang ada membelut otaknya?
“Seharusnya ruh ayahmu hadir kembali dalam jasadmu, keberaniannya, kebaikannya, betul kan itu?” tanya si sayyed berupa sindiran halus untuk Rama.
Hampir berpuluh pertanyaan hadir di benak Rama, tapi semua itu masih saja tak mendapatkan jawaban yang cocok di hatinya. Sehingga dia lupa terhadap orang di sampingnya. Yang mengajak dia ngobrol. Yang sejak tadi menunggu jawaban dari Rama atas pertanyaannya. Rama tak menjawab tak bisa menjawab apa-apa, karena dia tak mendengar apa-apa pula.
“Yaa salaam Rama, kaifa haaluka akhi?”5 tanya si sayyed lagi masih dalam rangka sindiran.
Ruh Rama yang sejak tadi tenggelam dalam ruang abstrak yang berisi berpuluh pertanyaan, akhirnya kembali ke jasadnya lagi. Ia pun kembali merespon orang yang sejak tadi di sampingnya.
“Oh, maaf, Sayyed.” Rama tergagap.
“Ah, tidak apa-apa, Rama, sepertinya kamu gak enak badan, baiklah saya pergi dulu.”
Sayyed berpamitan dan mengucapkan salam. Begitu juga Rama, cepat-cepat ia melangkahkan kaki keluar masjid, karena dia ingat, tadi pergi kemasjid bersama ibunya. Segera ia mencari ibunya. Ia mencari ke sudut belakang masjid, yang merupakan tempat shalat akhwat6. Sudut itu kosong, tak terlihat seorang hamba yang berdiam diri di dalamnya. Dia bingung, di manakah ibunya. Dia mengira ibunya telah mendahuluinya. Rama terus mengayunkan langkah, hingga dia sampai pada peneduh jasadnya. Rumahnya surganya.
***
16 Ramadhan 2003
Ia hampir tak percaya bahwa yang ada di dalam peti itu adalah jasad kedua sahabatnya. Sahabat sejak ibtidaiyah, selalu bersama. Saat gelak tawa harus hadir dalam kehidupan, bahkan sampai detik-detik menempuh ajal mereka masih bersama. Terkecuali Rama tidak bertemu sang Izrail pada waktu itu. Saat tertulis di luar kedua peti itu, Asysyahid Najah Al-Sumairi dan Asysyahid Samah Nawahi. Bulir-bulir tetesan air matanya, turun deras tak tertahankan. Dalam hatinya, ia tak merelakan mereka berdua. Karena persahabatan yang lama itu, kini hilanglah sudah.
Iringan orang-orang semakin jauh membawa mayat mereka berdua ke pemakaman massal para syuhada, di lapangan kosong bekas reruntuhan bangunan, dikarenakan pemakaman yang asli telah dikuasai oleh zionis. Rama masih di atas tanah yang ia pijak sejak tadi, sengaja ia tak turut ikut dalam prosesi pemakaman. Karena ia tak mampu menahan egonya. Sungguh jahat kau Israel begitu dalam hati Rama.
25 Ramadhan 2003
“Rama...Rama...di mana kau wahai anakku?” tiba-tiba ibu Rama memanggil anaknya yang sejak tadi tertawan sepi tak seorang kawan yang menemani.
“Labbaik, yaa Ummi. Ada apa, Ibu,” jawab Rama.
“Kemarilah, anakku!”
Rama datang menghampri ibunya.
“Anakku ada apa gerangan kau sejak tadi duduk di teras rumah sedangkan kau beberapa hari lalu bermain bersama kawan-kawanmu di luar sana bahkan hingga ke luar desa, adakah masalah yang menghampirimu?”
“Tidak, Ibu. Rama tidak dalam masalah.”
“Jujurlah, anakku. Ibu melihat dari bola matamu sebuah masalah yang menimpamu.”
Rama tak mampu lagi untuk berbohong kepada ibunya. Akhirnya dia mengatakan apa yang seenarnya terjadi kepada dirinya.
“Wahai ibuku, masalah Rama sebenarnya tidak besar, tapi Rama yang membuatnya besar,” jawab Rama.
“Ya, anakku utarakanlah pada ibumu!”
“Ibu, Rama sedih...teman-teman main Rama kini telah tiada, mereka dibunuh oleh Israel...Rama kesepian...”
“Sejak kapan itu anakku?” tanya Ibu.
“Sejak 10 hari lalu, saat Rama pulang ke rumah agak sore itu, kami di kejar-kejar tentara zionis di dekat Jalur Gaza, dan kedua teman Rama di tembak dan mati di tempat.”
“Oh, waktu itu mengapa kau tidak jujur kepada Ibu?”
“Rama takut ibu akan khawatir, jadi Rama tak mengatakan yang sebenarnya.”
“Mengapa kau tidak mati saja bersama teman-temanmu?”
“Tidak! Rama ingat Ibu sendirian di rumah. Rama ingin jaga Ibu. Mengapa Ibu menginginkan Rama mati, apakah Ibu tak sayang pada Rama?”
“Rama, tidakkah kau ingin seperti ayahmu yang syahid di jalan-Nya? Tidakkah kau iri, kawan-kawanmu telah menginjakkan kaki di surga lebih dahulu dan bersenang dengan bidadari Ainul Mardhiyah, sedangkan kau masih terbeku kaku di sini?”
Rama masih saja diam tak bersua, terlihat dia dalam kebingungan yang nyata.
“Anakku, sesungguhnya ibu lebih bangga jika anak Ibu mati syahid di jalan-Nya, itu lebih berharga, Ibu akan dipermudah memasuki surga nantinya...”
Entah mengapa, tiba-tiba saja mendengar perkataan ibunya, ruh Rama seperti terhenyak.
***
“Heh, anak muda! Mana kartu identitasmu? Serahkan padaku, cepat!” bentak seorang tentara Israel yang berjaga di sekitar Masjid Al-Aqsa malam itu. Rama menyerahkan kartu identitasnya, kepada tentara itu.
Memang Al-Aqsa selalu dijaga oleh tentara Israel, karena mereka khawatir akan ada penyusup dari para pejuang islam. Dulu pernah terjadi pengeboman terhadap orang-orang Yahudi yang sedang berdoa di Tembok Ratapan. Mereka pun membatasi orang yang akan shalat ataupun itikaf ketika Ramadhan, berkisar lima belas ribu orang hingga dua puluh orang. Padahal muatan Masjid Al-Aqsa hingga dua ratus ribu orang.
Rama berjalan memasuki Masjidil Aqsa, meskipun berdesak-desakan berebutan dia tetap mencoba untuk melalui. Rama pun mampu memasuki Masjidil Aqsa, dan menuju shaf depan. Dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid sesudah itu membaca Al-Quran. Di tengah tilawahnya membaca surat An-Nisaa dia berhenti lantaran dia membaca ayat yang membuatnya tertegun.
“Tidakkah sama antara orang yang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing , Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar”.7
Rama tak mengedipkan mata saat membaca ayat itu, ia terus terpana dan tetap menatapnya. Ayat ini menambahkan keyakinanku, akan kasih sayangmu ya Allah, kata Rama terbersit di hatinya.
***
29 Ramadhan 2003 Malam Berbintang Gemilang
Takbiran berkumandang di seluruh penjuru kota, meskipun suasana tak berubah. Masih saja dalam keadaan mencekam bagi semua. Terkecuali Rama, dia tak gentar sama sekali meski israel di hadapannya. Malam takbiran ini dia ingin berada di masjidil Aqsa, malam ini dia ingin berada masjid suci yang ketiga, tetapi dia terlambat, tentara Israel telah menutup, pendaftaran orang yang akan masuk kedalam masjidil haram.
Ternyata bukan hanya dia yang terlambat, ada ratusan orang yang menginginkan masuk masjidil Aqsa, akan tetapi dilarang. Maka mereka termasuk Rama, mencoba memaksa masuk. Suara takbir terkumandang begitu menggelegar dari para pemaksa itu.
“Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa Ilaaha illahu Akbar,Allahu Akbar Walillahil lhamdu”.
Akhirnya, tentara israel pun tak sabar. Timah panas tak berarah beraturan terlempar kesegala arah. Maka siapa yang di hadapannya akan tertusuk olehnya. Banyak diantara mereka mati tak terselamatkan, salah satunya nyawa Rama pun melayang. Tubuhnya jatuh tergegang, peluru tepat menusuk dahinya. Di sisa akhir nafasnya, syahadat terucap lembut. Izrail membawa nyawanya, saat itu dia telah mencium mewangi lakaran surga kasturi adanya.
Tenang Najah dan Samah kematian kalian takkan sia-sia. Doa kami selalu menyertai kalain.
Keterangan:
1.Ayolah sudah Rama, saya pikir dia bisa menjaga dirinya sendiri.
2.Tetapi, Samah, saya takut Najah...
3.Baik, Samah/ya, Samah.
4.Ayo, bunuhlah aku!!
5.Aduh, Rama gimana kabarmu, wahai saudaraku?
6.Jamak dari ukhtun berarti perempuan.
7.Surat An-Nisaa ayat 95
ini cerpen saya yang dimuat di annida online, tolong cantumkan media dan nama penulis ya terima kasih :)
ReplyDeletebagus banget ceritanya, sukses terus yah, saya suka membacanya.. ;)
ReplyDeletekeren ceritanya ... saya suka ;)
ReplyDelete