Penulis: Guntur Alam
Jamal Ad-durra masih meringkuk di belakang sebuah tong sampah. Tangan kanannya berusaha memeluk rapat tubuh putranya, Muhammad. Sejak serangan darat Israel yang dilancar tadi malam, tentara Israel tak henti menghujani Jalur Gaza dengan peluru. Jamal sadar, ada gigil yang bercumbu di tubuh mungil putranya. Bocah 12 tahun itu berusaha sekuat mungkin mengumpulkan keberanian dalam dirinya.
“Jangan khawatir, Mujahid. Allah akan melindungi kita,” hibur Jamal. Memompa keberanian putranya dengan setangkai senyum semanis kurma. Mata bocah lelaki itu mengerjap. Memberikan binar, seakan berkata: Aku tak takut, Ayah!
Seonggok batu menjadi saksi adegan anak beranak itu. Tadi, batu-batu itu berterbangan di udara, menjadi azam dari tangan keduanya. Menghancurkan musuh Allah. Tapi, apa daya? Batu-batu itu tak mampu merobohkan tentara Israel yang bersenjata peluru panas. Bahkan sebuah peluru telah merobek perut putranya.
Bola mata Jamal melihat rembesean darah yang makin banyak di baju putranya, baju kaos belang-belang warna hitam putih itu terlihat memerah. Bahkan warna merah darah itu telah ikut menoktahi baju kaos putih Jamal. Bibir bocah lelaki itu terlihat pasi. Tapi, tetap saja ia berusaha menyunggingkan senyum termanisnya.
Retina Jamal memanas, ia tahu. Ada perih yang sedang mengigit-gigit perut putranya. Tapi, ia tak tahu harus berbuat apa. Tak ada celah untuk keluar dari balik tong sampah ini. Tentara Israel itu masih saja menghujani mereka dengan peluru. Dan Jamal tak ingin membiarkan tubuh putranya bermandikan hujan peluru. Ia bertahan, berharap ambulance segera datang.
“Allah bersama kita, Mujahid,” bisik Jamal, lirih di telinga putranya. Bocah itu mengangkat wajahnya. Bibir itu semakin pias, ia meringis.
“Apakah luka ini sebagai tanda aku sudah mendapatkan tiketku, Ayah?” tanyanya, tiba-tiba. Mata Jamal perih. Ia mengangguk. Sekuat mungkin untuk menahan tangis. Tak perlu air mata untuk sebuah kehilangan. Sebab, setiap anak-anak yang dilahirkan di bumi Palestina tidak pernah diajari untuk menangis. Melempar batu dan memanggul senjata adalah pelajaran pertama setelah mengenal kejamnya tentara Israel. Senyum pucat tersungging di bibir bocah itu.
Ah, kau seharusnya masih bermain seperti anak-anak yang lain. Masih bersemangat menuju sekolah. Bukan meringkuk di sini. Jamal buru-buru membuang pikiran itu. Adalah sebuah kebanggaan baginya, bagi putranya, dan bagi seluruh anak-anak yang lahir di negeri para nabi ini, lahir dan besar di negeri yang berhamburan tiket surga. Negeri yang menjadi kiblat pertama umat Islam. Negeri yang telah menjadi ibu atas lahirnya para nabi. Negeri yang tak henti melahirkan orang-orang agung.
“Aku ingin tiket perak yang dikirim dari moncong tentara Israel ini benar-benar mengantarkan menuju perkawinan surga, Ayah,” Jamal mendesah mendengarnya. Dimensi yang bergelut dalam perang telah memaksa putranya untuk lebih cepat dewasa. hingga perkawinan surga sudah menjadi mimpi terindah bocah seusianya.
“Insya Allah, Mujahid,” doanya dalam gamang. Pupilnya memerah melihat air anyir itu terus menerus merembes. Padahal, tadi dia sudah mengikatkan kafiyenya di perut mungil itu, berharap aliran itu berhenti.
“Tapi, ayah berdoa. Semoga pagi ini bukan ijab qabulmu, Nak,” terdengar suara Jamal bergetar. Retina coklat putranya mengerucut, tak mengerti. Mengapa ayahnya tak mengizinkan perkawinannya dengan surga hari ini? Padahal, dia sudah merasakan kedatangan penghulu maut diantara riuh suara tembakan dan roket-roket Israel yang terus ditembakkan. Menghantam setiap benda yang ada di tanah Gaza.
“Mengapa, Ayah?” desisnya, begitu bibir ayahnya tak jua terbuka kembali. Jamal menghela napas, dalam. Mencoba berlomba dengan bau mesiu yang bertahta dalam paru-parunya. Ia melukis senyum terindah sebelum berucap.
“Karena Ayah ingin kamu menikah dulu dengan bidadari dunia dan kalian melahirkan jundi-jundi Allah yang banyak. Hingga, ada penerus perjuangan kita. Kalau kamu menikah dengan surga sekarang? Siapa yang akan melanjutkan perjuangan ini?” bocah itu terdiam. Ia merasakan, apa yang ayahnya katakan benar. Siapa yang akan menerima estafet tongkat perjuangan ini jika dalam umur semuda dirinya, semua anak-anak Palestina telah menikah dengan surga?
Ah, Allah pasti telah menyiapkan pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dari yang dipunya Palestina sekarang. Jika takdir menginginkan aku menikah dengan surga hari ini, aku akan menikah. Kalau tidak, pasti tidak. Karena Allah yang memiliki perjanjian. Batinnya. Membuang bimbang dan galau.
“Allah telah menyiapkan pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dari sekarang, Ayah. Kita tidak usaha khawatir, bumi Palestin adalah ibu yang subur, yang siap melahirkan puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan bayi-bayi,” yakinnya membuat Jamal terhenyak. Perang ternyata memang mengajari banyak hal. Perang telah memaksa putranya untuk mematangkan lebih cepat hormon-hormonnya.
Jamal tersenyum mendengar kata-kata itu. Dulu, dia begitu kebingungan untuk memilah kata saat putranya itu bertanya. Mengapa Israel ingin membunuh kita? Benarkah mereka penjajah yang mencaplok tanah air kita? Ia bingung, takut kata-katanya begitu sulit dipahami oleh anak seumurannya. Ternyata, Tanah Gaza telah membuat otak anak-anaknya untuk lebih pandai memahami semuanya. Termasuk kata-kata.
“Mereka memang penjajah yang mencaplok tanah air kita, sebab mereka bilang: Ini tanah Tuhan yang diwariskan kepada anak Israel, Tuhan telah mewariskannya kepada Musa di Gurun Sinai. Dan kita orang-orang yang merampas tanah warisan itu,” masih teringang kata-kata itu di telinga Jamal, kata-katanya sendiri. Ketika putranya, Muhammad, yang berumur tujuh tahun menanyakan sebab muasabab orang-orang Jewish itu begitu bernafsu membantai mereka.
“Kau tahu dari siapa namamu diambil, Mujahid?” bola mata bocah berumur tujuh tahun itu mengerjap, penuh binar dan luapan semangat.
“Dari nama kekasih Allah, Muhammad. Manusia yang telah membawa kita menuju cahaya surga. Muhammad Rasul mulia,” jelasnya meluap-luap. Tawa Jamal berderai menyaksikan letupan semangat itu. Itulah ciri anak yang dilahirkan tanah ini!
“Ayah ingin kamu bisa seperti Rasulullah, memberi kedamaian dan cahaya terang di sekelilingimu. Ayah ingin kamu menjadi penerang tanah Palestina, orang yang mampu menyibak awan tebal dari debu gurun-gurun yang diterbangkan senjata-senjata Israel. Bebaskan tanah air kita, Mujahid. Bebaskan Palestin!” kobar Jamal pada dada mungil putranya. Bocah itu mengangguk keras, penuh keyakinan.
“Perang ini bukan hanya sebatas perebutan sepetak tanah,” Jamal ingat sekali, penjelasan itu ia ucapkan dua tahun yang lalu, setelah putranya itu telah puluhan kali mengkhatamkan Al Quran-nya dan bocah itu bertanya tentang sejarah kecurangan, kebencian, dan kekejaman orang-orang Jewish yang diceritakan Al Quran.
“Mereka tak sudi mengakui Rasulullah sebagai rasul terakhir yang Allah kirim, sebab Rasulullah bukan dari bangsa Yahudi tetapi bangsa Arab, bangsa primitif dan barbar kata mereka,” putranya menyimak dengan santun ceritanya, “Padahal, sudah jelas dalam kitab terdahulu, Allah telah menjelaskan kalau kekasih terakhir-Nya bukan dari bangsa Yahudi seperti sebelumnya. Allah tak ingin membiarkan mereka mencelakai kekasih terakhir-Nya seperti yang telah mereka lakukan pada nabi-nabi terdahulu. Bangsa Jewish telah berkali-kali membunuh nabi,” raut muka bocah itu mengelam. Mengutuk perbuatan keji bangsa Yahudi.
Kini, tubuh mungil putranya itu diam pasi. Bersimbah darah dari sebuah peluru perak yang dikirim dari moncong senjata Yahudi. Mengapa tiket perkawinan itu harus dihujamkan ke jantung kecil putranya? Padahal, dia yang berharap dan memimpi-mimpikan tiket itu bersarang di dadanya. Memenuhi undangan dan janji Allah, menemui seorang bidadari dunia yang telah mewariskannya seorang jundi perkasa padanya.
Bidadari itu tentu telah merindukan juga dirinya, setelah tak sempat menitip kata saat mewariskan jundi mereka. Dokter di rumah sakit Gaza tak mampu menolongnya. Keterbatasan obat dan tenaga membuat lelaki itu harus merelakan kepergiannya. Sayang, bidadari itu tak sempat menatap elok paras jundi mereka.
“Jangan khawatir, Mujahid. Ambulance pasti akan datang,” hibur Jamal. Suara rentetan peluru dan roket-roket yang ditembakkan masih ingar di kaki langit Gaza. Pekik takbir dan anyir darah berbaur, mengisi udara bergumul melawan bau mesiu yang makin menyengat.
Dan, doa Jamal diaminkan langit. Sebuah mobil ambulance terlihat menepi ke arah mereka. Raungan sirine itu seakan doa-doa dari penghuni langit atas keselamatan putranya. Pintu belakang mobil terbuka, dua orang laki-laki berseragam mengeluarkan tandu. Ada tanda bulan sabit merah di dada mereka. Jamal serta merta bangkit dan menggendong putranya, menghambur menuju ambulance. Tapi…
“Aakkhh..!” Jamal menjerit tertahan, sesuatu yang panas tiba-tiba saja memutuskan langkahnya. Dia terjatuh, sebelum dia sadar dengan apa yang terjadi, beberapa suara tembakan yang begitu nyaring merobohkan dua orang laki-laki yang memegang tandu dari ambulance. Mereka melenguh dan tersungkur. Sebuah ledakan keras menghancurkan mobil ambulance itu. Jamal nanar melihatnya.
Jamal bangkit dan kembali merengkuh putranya ke balik tong sampah persembunyian mereka. Nyata sekali di pupil Jamal, dayang-dayang surga hilir mudik di langit Gaza. Menyiapkan perjamuan akbar bagi para pengantin surga. Pun retinanya menangkap jelas, penghulu maut tengah bersimpuh di dada kecil putranya. Daun telinganya bergetar, perih, cemburu, marah, berbaur. Ketika lamat dia mendengar ijab kabul yang dilafazkan putranya. Dua tetes permata yang mengalir pelan dari kelopak matanya menjadi saksi yang mengesahkan perkawinan itu.
Riuh suara bidadari di kaki langit yang menyambut para pengantin. Semanis madu senyum membasahi bibir mungil Muhammad. Wajah diam itu membuat Jamal cemburu.
“Aku telah mendapatkan janji Allah, Ayah,” seakan wajah manis itu mengatakan untai kalimat pencemburu itu. Jamal kini paham betul bagaimana perasaan yang pernah mengigit ulu hati seorang sahabat, Khaitsamah, ketika harus merelakan keperangkatan putranya, Saad, menjadi pengantin surga pada Perang Badr.
Jamal meraung, merobek tenda resepsi yang terbentang membiru, memayungi tanah Gaza. Terbentang sepanjang jengkal bumi Palestina.
“Aku ingin jadi pengantin!” pintanya pada penghulu maut yang masih sibuk mengucapkan ijab qabul di persimpangan Gaza – Khan Yunis. Dayang-dayang surga terdiam, hati mereka membuncah ingin memeluk ruh Jamal di atas dipan-dipan bertelekan permata. Ingar suara amin mereka di langit Palestina, atas doa Jamal.
/C59. 10/01/09
Terinspirasi dari drama maut Jamal Ad-Durra dan putranya Muhammad Ad-Durra yang tewas ditembak tentara Israel di belakang tong sampah, persimpangan Gaza – Khan Yunis. Drama itu diabadikan seorang awak TV Prancis, September 2000.
0 komentar:
Post a Comment