Kado Buat Mama

Posted by Fursan Allail On 19:04 | 1 comment

“Tidak ada istilah terlalu cepat untuk berbuat kebaikan. Sebab kamu tidak pernah tahu seberapa capat kebaikanmu tersebut ternyata sudah terlambat” Begitulah pesan Ralph Waldo Emerson, penyair Amerika, yang sempat Adista baca tadi malam. Bahkan kalimat tersebut semakin membulatkan tekad Adista. Otaknya tak henti berputar, menyusun rencana.
Akhir-akhir ini Adista memang cukup tertekan dengan perasaan aneh yang sering mengintai ketenangannya. Perasaan yang membuat ia banyak diam, merenung, bahkan berpikir hingga lelah. Lelah dan lelah. Dan Adista berniat menyudahi teror itu!
Tepatnya hari ini. Yah, hari ini! Tanggal 22 Desember. Di Hari Ibu. Ia sadar, kebencian takkan pernah memberinya kebahagiaan.
Dan siang itu, sepulang sekolah, Adista tidak mau buang-buang waktu. Begitu bel tanda jam pulang berdentang nyaring, bersicepat Adista meninggalkan ruangan. Bahkan salam Pak Galih ia jawab sambil lalu. Yang ada di benak Adista hanya satu: ke rumah sakit!
Mendung yang bergayut tidak menyurutkan langkah gesa Adista. Clara, teman sebangkunya, yang berteriak memanggil tak diacuhkan.
“Dis, please wait….!! Don’t leave me..!!!” Kejar Clara, tertinggal. Tubuh balonnya tak sanggup lagi mengejar Adista yang gesit menjauh. Gadis blasteran itu nampak ngos-ngosan memegangi lutut. Nafasnya memburu. Capek!
Clara menyerah. Tubuh Adista telah mengecil di kejauhan sana.
Yupz! Adista melompat menaiki Angkot, mendahului beberapa orang yang sudah lama berjajar di pinggir jalan. Setelah mengamati sekeliling, ternyata sudah tidak ada kursi kosong. Terpaksa Adista bergelayut sambil memegang sebingkis kue yang dibelinya pada jam istirahat tadi.
“Jalan….!!” Teriak sang kernet begitu penumpang telah naik semua.
Angkot sesak yang ditumpangi Adista merayap seiring gerimis yang mulai menjarum satu-satu. Semakin lama gerimis kian deras. Angkot terus saja membelah hujan yang mulai mencurah. Tumpah! Hujan di musim hujan kembar.
Akh, global warming telah menyebabkan pergeseran siklus cuaca tahunan jadi tidak karuan. Ironisnya, Indonesia masuk dalam daftar ketiga terbesar penyumbang emisi dalam persoalan yang gawat ini. Gila!
Peringatan Al Gore, yang juga mantan Presiden AS, dalam bukunya An Inconvenient Truth seakan tak pernah mendapat perhatian dari penghuni Bumi. Termasuk yang tinggal di Indonesia! Salah satu akibatnya, ya seperti ini neh…
Baru beberapa meter saja Angkot melaju, tiba-tiba sang sopir mengerem mendadak hingga menimbulkan suara melengking. Lengkingan itu beradu dengan gemuruh hujan.
Semua kaget. Penumpang yang berdiri bergelayutan terhuyung ke depan. Termasuk Adista. Bingkisan kecil yang dipegang gadis itu dengan hati-hati, ringsek saat tubuhnya terjepit di antara penumpang lain.
“Sudah mau mampus, ya?!” Sang sopir mengumpat kasar pada pengendara sepeda motor yang menyilang tajam di depannya. Diikuti gerutuan seragam dari yang lain. Saling sahut. Kacau. Hampir saja tabrakan terjadi andai tadi sang sopir kurang waspada. Padahal hujan yang begitu deras cukup mengganggu penglihatan. Untung remnya berfungsi sempurna.
Angkot kembali menembus luruh kabut yang memutih dan mengabur. Sementara langit masih menghitam durja. Adista mendesah penuh sesal mengamati bingkisan di tangannya yang sudah tak sebagus tadi. Pasti kue di dalamnya juga sudah tak berbentuk lagi. Padahal, untuk mendapatkan itu, ia harus merelakan uang jajan sekaligus uang makan untuk sehari ini.
Akh, kembali Adista mendesah dalam. Terbayang seraut wajah di pelupuk matanya. Seraut wajah yang hampir semalam membuat ia sulit pejamkan mata.
Sudah seminggu ini rumah terasa sepi. Seakan tak berpenghuni. Bila ia pulang, hanya kekosongan yang menyambut. Hambar. Bahkan seisi rumah berantakan. Cucian menumpuk di sudut kamar mandi dengan bau menusuk. Kondisi dapur juga tak karuan. Piring dan gelas kotor tersebar di mana-mana. Debu menempel di mana-mana. Tanaman hias tak terurus
Belum lagi ke hal lain. Tak ada sarapan mengepul di atas meja. Tak ada acara makan malam. Tidak ada lagi perdebatan. Tak ada lagi pertengkaran. Tak ada ceramah bila ia telat pulang.
“Kenapa pulang telat? Apa nggak sebaiknya pulang dulu sebelum aktivitas di luar?”
Biasanya, pertanyaan khas semacam itu hampir tiap hari menyambut kepulangan Adista bila ia masih berkutat di Perpus Umum, sepulang sekolah. Pertanyaan yang terdengar sangat menyebalkan!

Capek-capek mendapat teguran demikian, Adista langsung meradang. “Emangnya kenapa? Ada yang mau marah?” Sinisnya. Muak!
“Mama bukannya marah, tapi paling nggak, kamu kan bisa kasih kabar biar Mama nggak cemas,” Desah Tante Fika, lembut.
Mama? Adista tersenyum masam.
“Memangnya kamu masih ke mana? Tadi Mama telepon Clara katanya kamu udah pulang” Sambung Tante Fika lagi.
“Apa urusan Tante? Bukannya Tante akan lebih senang kalau Dista nggak ada di rumah? Jadi nggak usah sok perduli deh! Dista bisa ngurus diri sendiri!” Tukas Adista, kasar.
“Dista?” tatap Tante Fika, tak suka “Mama nggak pernah berpikiran seperti itu. Mama sayang sama kamu. Dan kamu sudah menjadi tanggung jawab Mama. Mama selalu menganggap kamu seperti anak Mama sendiri!”
“Tanggung jawab? Tanggung jawab yang seperti apa? Sampai kapan pun, Tante nggak akan pernah bisa menggantikan posisi Mama. Nggak akan! Selamanya nggak akan pernah! Dan Dista juga nggak akan pernah menerima Tante sebagai Mama Dista. Jangan harap!” Detik berikut, Adista berlari ke kamar, menubruk daun pintu, lalu menutupnya dengan kasar.
Adista menumpahkan tangis ke bantal. Meluruhkannya dalam isak yang tertahan. Sosok Mama membayang kuat di benak Adista. Sosok yang selalu menemani kesepiannya. Kenangan demi kenangan dengan Mama datang bertubi bagitu saja. Mengkelebat satu-satu bagai kepingan DVD yang diputar di depan mata. Menabur cinta menyemai rindu. Rindu yang semakin membuat hati Adista perih. Menyayat luka. Sakit!
Bagi Adista, tidak seharusnya Mama pergi secepat itu. Ia butuh kasih sayang. Butuh dekapan hangat. Butuh belaian lembutnya. Tapi apa? Kenyataan apa yang harus ia terima?
Sejak Mama meninggal tujuh tahun yang lalu, dan Tante Fika memasuki kehidupan keluarganya dua tahun kemudian, rasa sakit itu kian menyiksa Adista. Bagi Adista, keputusan Papa menikahi janda yang ditinggal mati suaminya itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cinta Mama! Jadi, bukan salah Adista bila ia membenci Tante Fika. Benci dan benci!
“Rumah sakit, Rumah sakit! Ada yang turun di Rumah sakit?” Teriakan kernet membuyarkan lamunan Adista.
“Kik, kiri Bang!” Gagap Adista, cepat
Adista melompat turun. Tubuhnya disambut hujan yang masih mengamuk. Ia berlarian sambil berusaha melindungi bingkisan yang dipegangnya supaya tidak kehujanan.
Adista berdiri di emperan rumah sakit, tidak langsung masuk. Ia masih diam menggigil menunggu bajunya sedikit mengering agar tidak membasahi lantai rumah sakit. Angin menghempaskan dingin. Bibir Adista bergetar keunguan. Tubuhnya kuyup!
Dulu, Tante Fika pernah basah-basahan begini demi menjemputnya ke sekolah.
“ It..tu, Mam..ma khammu!” Tunjuk Clara, yang tetap gagap bicara bahasa Indonesia itu.
Adista menoleh. Dilihatnya Tante Fika yang kebasahan karena payung kecilnya tak cukup melindungi dari deras hujan. Sebelah tangannya menggenggam satu payung lagi dengan ukuran yang labih besar. Saat itu, Adista masih kelas dua SMP.
“Your Mom is very nice…” Puji Clara, memekik.
Adista melotot dengan ekspresi tak suka. Clara nyengir memamerkan giginya yang dikawat. Ia tahu kalau Adista benci dengan Mama tirinya. Adista makin mendelik muak. Apalagi menyaksikan Tante Fika yang basah kedinginan. Menggigil.
Hhff….! Adista mendesah teringat itu. Rasa penyesalannya semakin kuat mencenkeram.
****
Kamar 121! Tertutup rapat.
Langkah Adista terhenti ragu. Masuk, nggak ya? Pikirnya, menimbang. Tapi Adista yakin, Tante Fika sedang terbaring sendirian di dalam. Siang-siang begini, Papa belum pulang kerja.
“Jenguklah Mamamu kapan kamu sempat. Kalau Papa lagi kerja, dia sendirian. Dia melarang Papa menemani pada siang hari karena khawatir Papa di-PHK gara-gara sering bolos kerja,” pesan Papa empat hari yang lalu. Wajahnya nampak lesu karena kecapaian kerja dan masih harus bolak-balik ke rumah sakit.
Adista tak acuh. Dingin. Pura-pura sibuk dengan baksonya yang baru dibeli di ujung gang, depan sana.
Dulu Papa memang sempat di-PHK oleh Perusahaan tempatnya bekerja, gara-gara bolos kerja. Karena harus menjaga Mama waktu sakit.
“Mau jenguk, Dek?” Tegur seorang Suster tiba-tiba. Membuyarkan lamunan Adista.
Adista kaget. Mengangguk gugup tanpa suara.
“Masuk aja…” Senyum Suster itu, ramah.
Lagi-lagi Adista hanya mengangguk. Kali ini bibirnya sedikit membaris senyum. Suster itu berlalu meninggalkan Adista yang masih bimbang.
Sejenak Adista melirik bingkisan yang dari tadi dipegangnya. Sudah setengah basah. Namun akhirnya, tangan Adista meraih handle pintu juga. Diputarnya perlahan. Pintu terkuak.
Langkah Adista masih terasa berat. Degup jantungnya kian terdengar lebih keras.
Tante Fika terbaring lemah. Sendirian. Matanya terkatup rapat. Wajah dan bibirnya mengapas. Selang infus masih melekat di lengan. Adista menghampiri dengan langkah satu-satu. Seakan takut menimbulkan suara sedikitpun.
Lama Adista menatap Tante Fika dengan pandangan bersalah. Rasa itu semakin menyesakkan dada.
Dengan hati-hati, Adista membetulkan selimut Tante Fika yang tersingkap. Adista yakin, Tante Fika sering melakukan hal yang sama terhadapnya. Bahkan lebih dari itu.
Selama ini, bila bangun tidur Adista selalu mendapati dirinya dalam posisi terbaring rapi dengan selimut melindungi tubuh. Lampu kamarnya juga dimatikan. Obat nyamuk electric terpasang di tembok hingga ia selamat dari gelaran party Nyamuk. Sementar buku-buku pelajaran juga tersusun di atas meja. Padahal seingat Adista, tadi malam ia ketiduran waktu belajar.
Namun Adista tak pernah menyadari. Baru akhir-akhir ini ia berpikir. Sejak Tante Fika tidak ada di rumah. Sejak Tante Fika harus opname karena thyphus parah yang dideritanya. Adista mulai menyadari, karena sejak itu, ia selalu terbangun dengan posisi yang sama waktu ketiduran semalam. Tidak berubah! Buku-buku berantakan. Bahkan ada yang terjatuh. Benjolan memar di sebagian tubuhnya juga cukup menjelaskan bahwa semalam para Nyamuk sukses besar menggelar pestaphoria!
Akh, Adista menyesal, kenapa baru sekarang ia sadar? Kenapa harus menunggu sampai lima tahun untuk mensyukuri kasih sayang Tante Fika terhadapnya? Kenapa…
Lamunan Adista kembali bertepi. Dilihatnya tubuh Tante Fika bergerak pelan. Kelopak matanya sedikit membuka. Namun tiba-tiba mata itu melebar saat menangkap sosok Adista yang berdiri kaku di dekat pembaringan. Mulut Tante Fika menganga kaget, dan berusaha bangkit. Namun sia-sia… kondisi tubuhnya masih terlalu lemah.
Adista tak kalah gugup. Dua tindak langkahnya mundur. Mulutnya terkunci melihat Tante Fika memelototi dengan tatapan yang sulit dimengerti. Seolah ada sesuatu yang hendak ia katakan.
Adista salah tingkah
“Kenapa sampai basah-basahan seperti itu? Nanti kamu sakit. Cepat ganti baju,” Akhirnya kalimat cemas itu meluncur juga. Kepanikan terungkap jelas dari sorot matanya yang berubah liar.
Ya Tuhan…. Dalam kondisinya yang seperti itu, Beliau masih mencemaskan kesehatanku? Batin Adista. Adista jadi ingat, betapa paniknya Tante Fika saat ia pulang sekolah hujan-hujanan, dan malamnya ia demam tinggi! Sejak kejadian itu, Tante Fika tak pernah membiarkan Adista pulang sekolah basah-basahan. Apalagi sekedar main hujan-hujanan dengan anak tetangga.
Tik! Air mata Adista menitik satu-satu. Matanya memanas. Segera ia menghambur memeluk Tante Fika dengan tangis yang tak terbendung. Tante Fika tambah bingung dan kaget.
“Maaa..…” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Adista. Tercekat.
Mama Fika menyambut pelukan itu. Apalagi mendengar sebutan Adista barusan, Ma..? sungguh panggilan yang begitu dirindukannya selama ini. Sebuah panggilan yand tak pernah ia dengar dari mulut Adista. Lama keduanya bertangisan.
“Maafin Dista, Tan, eh, Ma!” Ucap Adista, melepas pelukannya. Masih rada kikuk memanggil Mama. “Dista tahu, selama ini Dista sudah banyak menyusahkan Mama. Menyakiti Mama…” Ada sesal menggurat di mata Adista.
Mama Fika tersenyum haru. Bahagia. Akhirnya, doanya selama ini terkabul juga.
Oh iya! Adista baru ingat dengan bingkisan basah yang dibawanya.
“Ini, selamat hari Ibu iya Ma…. Semoga bahagia selalu. Tapi maaf, hadiahnya sedikit rusak…” Adista mengangsurkan bingkisan yang ringsek dengan rupa sesal.
Mama Fika tersenyum senang menerima itu. Senang dan haru. Kaca di matanya pecah. Mamburai. “Makasih, ya sayang…!”
“Maafin Dista ya Ma… Dista selalu bersikap kasar…” Adista merunduk muram.
“Siapa bilang, Dista baik kok! Neh, udah kasih ini sama Mama!” Kerling Mama Fika menghibur. Membuka bingkisan yang ada di tangannya.
Ternyata kuenya rusak berat! Mama Fika tertawa geli dalam hati.
“Bentuknya rusak, yaaa?” Longo Adista berusaha melihat bentuk kue hadiah itu. Wajahnya semakin sedih.
Mama Fika tersenyum lembut. “Kita jangan pernah menilai sesuatu hanya dari bentuknya. Tapi nilailah dari niat dan kadar ketulusannya. Karena dari situlah seberapa besar cinta dan kasih sayang itu bisa dinilai. Dista ngerti?”
Adista berpikir sebentar, mencerna kalimat barusan. Lalu ia mengangguk cepat.
Keduanya sama tertawa. Bahagia.
“Tapi kuenya makan sekarang ya, Maaa? Dista laper..”
“????...” ***

1 comment:

  1. kenapa ya? kita baru menyadari "keberadaan" seseorang itu setelah dia tiada???

    ReplyDelete