Malu

Posted by Fursan Allail On 19:52 | No comments
Untuk kedua kalinya, aku terpaksa pindah kerja lagi. Minta di mutasi. Aku malu dan tak tahan dengan tatapan sinis serta cibiran teman sekantorku. Walaupun mereka tak pernah mengatakan langsung padaku. Tapi aku dapat merasakannya. Pernah sekali, aku mendengar secara tak sengaja memergoki mereka membicarakan hal buruk tentangku. Ketika saat itu aku mau ke toilet.
“Nggak nyangka ya, ternyata Bu Halimah itu isterinya koruptor!” Bu Wati membuka percakapan.
“Iya, benar. Mafia pajak lagi...” sahut Bu Fatma.
“Walaupun berjilbab. Ternyata tetap aja ya mau makan uang haram. Aku sih ogah...” tambah Bu Sari menggedekkan bahunya.dengan mimik jijik.
“Pantesan aja, tiap bulan mobilnya ganti-ganti terus...”
“Hu-uh...”
Serasa bagai ada sengatan listrik yang menjalar ke nadiku. Tubuhku bergetar menahan marah. Berani-beraninya mereka membicarakanku di belakang. Ingin sekali aku melabrak dan memarahi mereka habis-habisan. Tapi urung. Karena memang benar suamiku adalah seorang koruptor. Dari pada telingaku semakin panas, lebih baik aku pindah kerja saja.
***
Mulanya, aku tak tahu. Suamiku selalu bilang itu rezeki yang diberikan Allah, setiap kali dia menyerahkan gaji bulanannya padaku. Karena memang tugasku sebagai seorang isteri mengelola keuangan keluarga.
“Sudahlah, Bu. Tak usah banyak tanya, Bapak capek, mau istirahat dulu. Ibu simpan saja uang itu untuk keperluan kita dan anak-anak nanti...” kata suamiku beranjak ke kamar tidur. Meninggalkanku sendirian di depan televisi. Anak-anakku, Bagas dan Rinata sudah pulas. Besok mereka ada ulangan di sekolah.
Bulan berikutnya, uang gaji suamiku lebih banyak yang disetorkan padaku. Hampir dua kali lipat bertambahnya. Padahal aku tahu, suamiku cuma berpangkat golongan II a. Mana mungkin punya gaji sebanyak ini. Kalaupun ada kenaikan gaji tak mungkin akan sebanyak ini juga.
Dan pernah, dalam sebulan dua kali suamiku memberikan uang padaku. Katanya ada bonus dari kantor. Padahal, lebaran baru lewat, tak mungkin pihak kantor memberikan THR tambahan untuk pegawainya. Hingga membuatku curiga.
“Bapak tidak korupsi, kan?” tanyaku menyelidik di suatu hari.
Aku takut uang yang suamiku berikan adalah uang haram, hasil korupsi atau suap. Terutama juga anak-anakku. Aku tak ingin mengalir dalam darah mereka, sesuatu yang haram. Aku pernah mendengar pengajian, tubuh yang di dalamnya terdapat daging dan darah yang diberi makan dari hasil yang haram, maka hanya nerakalah yang pantas membakarnya. Na’uzubillah. Aku ngeri membayangkannya.
Tanya itu membuat mata suamiku mendelik tajam menatapku. Tak pernah aku melihat tatapan matanya seperti itu. Seperti ada kilatan, tapi aku tak bisa menafsirkan apa artinya. Tapi itu hanya sesaat, suamiku malah tertawa santai. Keningku berkerut bingung.
“Lho, kenapa Bapak tertawa?” tanyaku heran.
Suamiku masih terkekeh. Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya
“Ibu ini lucu....”
“Lucu?”
Masih terkekeh sambil melipat koran yang dibacanya.
“Iya, lucu. Ibu, kan, tahu sendiri. Bapak, kan, rajin shalat. Tak mungkinlah Bapak korupsi...”
Memang suamiku tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Hanya saja, shalatnya selalu kilat. Cuma beberapa menit selesai. Itupun tanpa wiridan, hanya doa pendek yang dibacanya. Aku jadi ragu, apakah shalatnya itu khusyu?
“Apa hubungannya?” tanyaku semakin bingung.
Suamiku mendesah panjang. Mungkin kesal, karena aku tak mengerti arah pembicaraannya.
“Apa ibu sudah lupa? Shalat itukan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Termasuk korupsi....”
“Oh......” Aku manggut-manggut. Karena sudah tahu hubungannya shalat dengan korupsi. Masuk akal juga, pikirku.
Namun, jujur aku masih tak yakin dengan ucapan suamiku. Bisa saja kan, bila sudah melihat uang yang banyak, mata jadi hijau. Dan lupa dengan segalanya. Apalagi setan tentu tak akan tinggal diam menggodanya. Sehingga aku hanya menyimpan uang itu dalam lemari, dan tak ku pakai sepeserpun. Hanya gajiku yang ku pakai untuk membeli keperluan rumah, sembako, dan juga pakaian. Tentu, itu ku rahasiakan dari suamiku. Aku takut dia marah dan tersinggung.
***
Waktu sore, suamiku pulang dengan sebuah kejutan. Dia baru saja membeli mobil baru keluaran terkini. Suamiku terlihat sangat bangga, tergambar dari senyum sumringahnya, ketika ku menyambutnya di depan pintu.
“Bapak dapat uang dari mana? Sampai bisa beli mobil mewah itu...” tanyaku penasaran saat makan malam. Lain dengan anak-anakku, mereka sudah tak sabar ingin naik mobil itu, jalan-jalan. Perasaanku mulai berprasangka buruk pada suamiku.
“Hadiah dari teman, Bu” jawab suamiku santai. Sembari mengunyah udang goreng, makanan kesukaannya.
“Jangan...jangan, Bapak menerima suap, ya?” kejarku. Apa yang ada di dadaku meluncur juga.
Braakkkk!!!
Suamiku menghentakan tangannya ke meja. Membuat piring dan gelas bergemerincing. Aku kaget, juga anak-anakku.
“Ibu jangan berkata sembarangan. Beraninya menuduh Bapak seperti itu...” muka suamiku memerah marah. Matanya berkilat-kilat.
Aku diam, tak ingin menyanggahnya. Kalau diladeni, aku takut akan terjadi pertengkaran di depan Bagas dan Rinata. Tak baik bagi mereka.
“Nafsu makan Bapak jadi hilang....” suamiku langsung bangkit dan pergi dari meja makan.
“Sudah...sudah....lanjutin makan kalian!” ucapku pada anakku “Mungkin, Bapak tadi lagi kecapean...”
***
Sejak kejadian itu. Suamiku bersikap dingin. Dia hanya menjawab dengan lenguhan-lenguhan kecil setiap kali aku mengajaknya bicara. Aku jadi merasa bersalah, karena telah menuduh suamiku menerima suap tanpa bukti. Kalau dibiarkan, tentu akibatnya mengganggu keharmonisan keluarga.
Malam ini, aku menunggu suamiku di ruang tamu dengan gelisah. Sudah jam sepuluh malam. Kenapa dia belum pulang? Batinku mengeram tanya. Kalau memang tidak pulang, dia pasti sudah menelpon. Karena itu adalah kebiasaannya, tak ingin membuat orang rumah kwatir. Aku sudah putuskan untuk meminta maaf padanya malam ini. Jadi, aku tetap menunggunya sampai suamiku pulang.
Untuk mengusir kantukku. Ku hidupkan televisi di ruang tamu. Ku pencit-pencit remote dengan kesal. Karena belum juga menemukan acara yang seru. Betapa kagetnya aku, saat melihat wajah suamiku terpampang jelas di kotak segi empat ajaib itu. Di acara Breaking news. Diapit oleh dua orang polisi, berjaket hitam. Puluhan mata blizt kamera wartawan menghujani wajah suamiku dengan kasar.
Suara seorang reporter mengatakan, bahwa Darmaji, suamiku, menjadi salah satu tersangka makelar kasus, penggelapan pajak di Kementerian Keuangan. Dengan membantu, beberapa perusaahan besar untuk menyusutkan pajaknya. Sehingga Negara dirugikan ratusan miliar.
Tubuhku langsung terpaku dan membisu. Remote yang tadi ku pegang terhempas ke lantai. Baterainya terlepas berhamburan.
***
Saat ku menjenguk suamiku bersama anak-anak di rumah tahanan. Dia menangis tersedu-sedu di depan kami. Menyesal dan meminta maaf, karena telah berbohong. Memberikan uang yang haram.
Aku yang sangat mencintai suamiku. Dengan mudah memberikan kata maaf padanya. Begitu juga dengan anak-anak. Dan ku katakan, bahwa uang yang dia berikan selama ini, tak pernah ku pakai. Masih tersimpan rapi dalam lemari. Itu membuatnya sedikit lega. Paling tidak, aku dan anakku yang tidak menikmati uang haram itu.
Walaupun aku memaafkannya tulus, namun hukum tetaplah hukum. Suamiku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Perguncingan di berbagai mediapun tak bisa terelakkan. Menjadi Headline di setiap surat kabar nasional. Bahkan bisa d katakan, ketenaran suamiku langsung meroket, bak selebritis yang selalu diburu oleh kuli tinta. Begitu juga di kantor tempat ku bekerja. Nama suamiku menjadi topik utama untuk dibahas. Aku tak tahan mendengarnya, hingga aku minta dimutasikan.
***
Aku berharap di tempat kerja yang baru ini tak ada yang mengenaliku, isteri Darmaji, makelar kasus pajak, yang saat ini mendekam dalam penjara. Sama seperti Pak Camat yang dengan senang hati menerima surat yang ku ajukan kemarin.karena tak tahu siapa aku. Sehingga aku bisa bekerja dengan nyaman di sini.
Hari ini, adalah hari keduaku bekerja di kantor yang baru. Aku melangkah dengan ringan seolah tak ada beban melewati pintu depan. Beberapa orang pegawai tampak tersenyum ramah menyapaku.
Baru beberapa langkah aku melewati mereka. Terdengar suara pelan yang mengusik gendang telingaku.
“Sssttt..... bukannya itu isterinya Darmaji? Markus pajak itu...”
“Iya-ya. Aku baru ingat sekarang....”
“Wah, bisa gawat, nih. Bisa-bisa kita juga masuk teve. Karena dia kerja di sini...”
“Asyikkan.., kita bisa terkenal. Hehehe...”
“Hus..., siapa juga mau terkenal, karena berteman dengan isteri koruptor...”
“Sama, aku juga ogah...”
Aku baru ingat, ternyata aku pernah tersorot kamera teve, saat dimintai keterangan di kantor polisi. Pantesan saja dimana-mana orang tahu siapa aku. Aku melangkah gontai menuju ruang kerjaku. Mengetik sebuah surat pengunduran diri. Mungkin lebih baik aku berhenti bekerja. Dari pada harus mendengar perguncingan yang memanaskan telinga. Aku benar-benar malu. Sungguh malu.

0 komentar:

Post a Comment