Dalam Gelap Mereka Berdzikir

Posted by Fursan Allail On 21:32 | No comments
Alangkah pekatnya ruang itu. Setitik cahaya pun tak terlihat. Ameer meraba-raba. Tak ada tembok ataupun benda lain yang kiranya bisa menjadi penuntun tangannya. Semakin menambah aroma kekosongan dalam gelap semesta. Seperti alam kubur. Ataukah ia sudah mati?

Ameer meraba detak jantungnya. Masih berdenyut. Kenyataan itu mendorongnya untuk terus berjalan mencari cahaya.

Sampai akhirnya ia melihat setitik terang di ujung sana. Ameer berlari menyongsongnya. Semakin dekat semakin jelas bahwa itu memang cahaya. Semakin menyilaukan mata. Saat itulah Ameer menangkap suara merdu alunan dzikir dari arah cahaya itu. kemerduan yang begitu memikat.

Hanya beberapa meter lagi Ameer akan masuk ke dalam pelukan cahaya itu, tiba-tiba saja sebuah ledakan menghentakkan semuanya.

Bum!!

Ia merasa tubuhnya telah berkeping. Ia merasa telah tak berbentuk lagi. Hanya bersisa perasaan kosong. Hampa. Hening. Dalam keheningan itulah alunan dzikir yang tadi sempat musnah kini kembali menyapa telinganya. Anehnya, tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan. Serasa ada yang mengikatnya, namun tali itu tak terlihat mata. Hanya ada gelap dan kekosongan. Benar-benar kematian.

“Hei, ayo bangunlah. Sudah waktunya,” alunan dzikir itu berubah suara bisikan yang menyentakkannya.

Ameer tergeragap. Kedua matanya silau oleh cahaya yang tiba-tiba telah mengurung dirinya. Rupanya Ali sudah berada dalam kamarnya.

“Hampir dini hari,” ucap Ali. Seolah menyuruh Ameer segera gegas melakukan sesuatu.

Mimpi yang lumayan aneh. Ameer mengusap wajah sebelum beranjak bangkit. Apa ia harus menceritakannya kepada Ali, atau Ummi? Ah, sepertinya mimpi yang tak penting.

* * *

Gelap meraja. Padang pasir seolah mulut mimpi yang menganga. Bentangan langit bertabur kerlip gemintang. Bulan terlihat penuh, bagai tambur raksasa berwarna pucat. Jauh di depan sana, samar terdengar riuh. Selatan masih terjaga. Kabarnya, mereka sedang ribut-ribut hendak menggulingkan pemimpinnya.

Bayangan itu membuat Ameer menoleh ke Utara yang tampak lengang dan lelap, setelah berbilang hari kedamaian dibantai, hingga rumah sakit Shifa meledak kelebihan pasien. Masing-masing hanya mementingkan kekuasaan sendiri tanpa memedulikan rumput-rumput yang terinjak. Dari yang semula berkawan bisa menjadi musuh. Dari yang semula musuh pun berubah menjadi sekutu. Ameer mulai memahami sesuatu ketika hidupnya semakin hari semakin tak menentu. Bahasa politik mereka selalu berubah ketika kekuasaan telah di tangan. Ia jadi malas jika ada teman yang menawari ikut gerakan ini-gerakan itu.

Ameer telah bersusah-susah hingga ia berhasil menamatkan pendidikan di bangku universitas. Betapa almarhum Abi pun Ummi telah memeras keringat demi masa depannya. Tapi lihatlah sekarang, jurang pengangguran menganga melahapnya. Alangkah banyaknya teman sebaya yang senasib dengannya.

Setelah masa kecil yang buruk di kamp pengungsian, setelah masa remaja yang bengal mengikut arus menuntut kemerdekaan, semua itu lalu terasa sia-sia setelah dihadapkan pada kenyataan bahwa Ameer harus jungkir balik menghidupi Ummi dan kedua adiknya. Abinya tewas dalam penyerbuan Israel di awal tahun 2009. Lelaki yang benci peperangan itu bahkan akhirnya harus remuk juga oleh sebuah rudal nyasar.

“Turunlah dengan tali itu,” suara Ali membuyarkan perjalanan lamunan Ameer.

Sebuah lubang bermulut gelap menganga di hadapannya. Tersembunyi di balik bebatuan bukit.

“Yang lainnya mungkin sudah menunggu di dalam.”

Seperti masuk ke dalam lubang kematian. Seperti saat itu, ketika ia dan Saeb tergoda menyusup ke ladang gandum milik orang Israel. Pencurian itu tertangkap basah. Mereka tak mungkin lagi pulang melalui terowongan kecil—saluran irigasi—jalan masuk yang tadi mereka masuki. Lari lintang pukang tak tentu arah. Sialnya salah arah. Saat hampir mencapai perbatasan ladang gandum, berondongan peluru menghujani. Ia tertembak. Di sebelah bahu kiri. Gelap langsung menyambutnya. Gelap yang berbunyi suara-suara Saeb.

Namun sejak saat itu ia tak pernah lagi bertemu Saeb. Ia menemukan dirinya telah dirawat oleh keluarga Ummi Nemer. Tak tahu bagaimana ia bisa sampai di Khan Yunis. Dari Rafah lalu sampai Khan Yunis, oo ia mulai sadar bahwa semula pasti ia telah disangka mati lalu dibuang ke daerah itu. Kabarnya di situ sering terjadi peristiwa bom bunuh diri. Mungkin mayatnya hendak dijadikan peringatan untuk para pengacau itu. Mungkin. Tapi ternyata nyawanya masih menempel. Sementara Saeb, mungkin ia sudah bennar-benar tewas. Entah di mana mayatnya dibuang.

“Ambil helm senter yang tergantung di dinding sebelah kiri,” suara Ali sejenak menyadarkan Ameer bahwa gelap masih menyekap. Cahaya purnama tak lagi bisa masuk ke dalam terowongan itu.

Ameer mengira-ngira kedalaman lubang itu. Mungkin sekitar lima belas meteran.

“Agar tak mudah hilang saat dibom. Terowongan ini sudah susah payah dibuat banyak orang. Banyak nyawa pula telah dikorbankan demi membuatnya. Terowongan ini tak boleh dilenyapkan dengan mudah begitu saja ,” ujar Ali, seolah tahu pertanyaan yang menggantung di benak Ameer.

“Dibom?”

“Sangat sering. Israel maupun Mesir telah mengetahui. Itulah mengapa dibuat banyak lubang, agar para pekerja bisa berganti-ganti tempat untuk mengecoh.”

Ameer menelan ludah. Hanya demi dua puluh lima dolar sehari, nyawa dipertaruhkan. Tapi adakah pilihan lain? Kehidupannya di Deir el-Balah tak lebih baik dari ini. Ummi bahkan harus sering berpuasa. Mau tak mau ia harus menyangga beban ini setelah Abi tiada.

Saat terang menyeruak, alangkah takjubnya Ameer. Ada beberapa karung gandum, beberapa kardus yang berisi entah apa, yang tergeletak di bawah gantungan helm. Menunggu untuk diangkut ke atas. Mungkin beberapa kebutuhan yang pokok yang telah dipesan. Beberapa peralatan gali ada di situ. Ameer mengambil sekop dan mulai berjalan ke arah gelap.

Suasana itu kembali terulang. Suasana dalam mimpinya. Aroma kekosongan mulai terasa. Seperti alam kubur. Lamat-lamat ia mulai mendengar suara itu. Mengalun. Begitu mengundang sepi.

“Aku pernah memimpikan ini,” Ameer tak tahan untuk tak mengucapkannya.

“Oya? Bagaimana kelanjutannya?” Ali terkekeh, seolah mengentengkan ucapan Ameer barusan. Seolah menganggapnya sebagai hiburan.

“Aku melihat cahaya di ujung sana,” ujar Ameer kemudian.

“Iya. Selesaikan tugasmu, maka kau akan menemukan cahaya. Cahaya tanah Musa di Mesir!” suara Ali sedikit bergema.

Hingga puluhan langkah cahaya itu tak juga terlihat. Alangkah panjangnya lorong ini.

* * *

Ameer melinggis dinding tanah di hadapannya dengan penuh semangat. Sesekali ia menyenandungkan beberapa surat AlQur’an yang tengah dihafalnya. Meniru beberapa teman lain, yang berusaha mengusir sepi.

“Agar kalau kita mati, langsung mati syahid, hahaha…,” gurau Hameed.

Kata teman-teman, Hameed memang pernah terkubur dalam sebuah terowongan akibat terkena rudal Israel. Dua temannya tewas tertimbun, sedang tiga penggali lainnya kritis, termasuk Hameed. Beruntung teman-teman di luar segera sigap menolong.

“Heh, apa tadi kau sudah pamitan?” Saed menyenggol Ameer.

Ameer tersenyum, “Ummi menangis tadi,” bermaksud mengimbangi gurauan.

Bukan, bukan ummimu. Maksudku, apa kau sudah pamitan dengan gadismu?” sahut Saed.

“Huahahaha…,” gurauan itu segera bersambut tawa dari yang lainnya.

Ada saja cara untuk mengusir sepi dan jenuh dalam lubang gelap itu. Dari mulai berita politik, masakan di rumah, sampai gadis yang tengah diincar.

“Kali ini kita harus menggali lebih dalam dan lebih panjang lagi,” Hasyeem mengusap peluh di pelipis. “Jangan sampai nanti kita muncul di depan pagar rumah Mesir,” Hasyeem celingukan. Ia kira gurauannya kali ini akan bersambut tawa yang lebih keras. Tapi ternyata tak.

“Aku juga sudah dengar kabar tersebut. Pagar baru itu dibangun sepanjang sebelas Kilometer dengan kedalaman delapan belas Kilometer. Mengerikan sekali andai pagar itu menembus terowongan yang tengah kita gali, kita terjebak di dalamnya, lalu teman-teman kita di luar tak ada yang mengetahuinya.”

Sepi. Tak ada sahutan lagi. Seolah masing-masing tengah membayangkan kematian yang bisa tiba-tiba datang menjemput.

Bumm!!

Tiba-tiba saja bumi berguncang. Pasir berjatuhan dari atas. Lima pemuda itu lintang-pukang tak karuan. Saeed dan Hasyeem berkali-kali melantangkan takbir. Dada Ameer berdetak kencang. Mimpi kelam itu kembali melintas. Inikah maut?

“Bukan kita!!” teriak Saed ketika sampai di mulut terowongan. Tali masih terlihat menggantung.

Hampir putus nafas Ameer. Ia ambruk ke sisi tembok. Tengadah menatap langit. Saed, disusul Hameed, telah merambat ke atas. Ya rabbi, siapakah yang kiranya terkubur hidup-hidup malam ini?

* * *

Pemakaman Zuhdi berlangsung khidmat. Tak ada tangis keluarga yang mengiringi. Air mata sudah terlampau kering. Apalagi bagi mereka yang telah mengikhlaskan anggota keluarganya bekerja sebagai penggali terowongan maut itu.

Beruntung rudal tak jatuh tepat di mulut terowongan. Rudal itu meleset dua meteran dari sasaran. Namun ternyata masih cukup kuat merontokkan kayu-kayu penyangga di mulut terowongan. Naas bagi Zuhdi yang saat itu sedang merayap naik memikul sekarung gandum.

Sepulang dari pemakaman, Ameer kembali disergap kekosongan. Entah mengapa ia ingin berlama-lama menatap Ummi dan kedua adiknya. Malas melakukan apapun. Ameer hanya ingin melihat aktivitas dalam rumahnya—ia mengandai-andai jika ia sudah tak ada lagi.

“Kamu sakit?” Ummi menyeka dahi Ameer. “Kalau tak enak badan, tak usah berangkat ke terowongan itu lagi.”

Ameer tersenyum. Segera beranjak mengambil sarapan. Ia sudah menanam janji hati, sepeninggal Abi ia tak akan membiarkan Ummi patah kaki memikul beban keluarga seorang diri. Ameer rela berpeluh dalam pekerjaan apapun, meski harus bertaruh nyawa.

Tapi entah mengapa kekosongan itu semakin mendera saja. Ameer ingin rembulan berhenti bergerak menuju puncak tengah malam. Saat berpamitan, Ameer ingin sekali memeluk Ummi tanpa dibatasi waktu. Tapi semua seolah tak peduli dengan kekosongan yang meruapi hatinya.

Rafah telah pulas ketika Ameer menuruni sebuah terowongan lagi.

Ameer coba mendesiskan surat Yaa-Siin yang baru seminggu lalu ia hafal secara penuh. Ia meniru teman-temannya yang selalu punya cara untuk membunuh sepi.

Gelap mengakap. Cahaya hanya berasal dari helm yang dikenakan mereka yang berjalan di depan. Sampai kapankah Ameer harus melakoni ini? Pemuda itu terus bertanya pada dirinya sendiri. Kekosongan yang mendera hati terus membuntuti.****

0 komentar:

Post a Comment