Tatapan Matanya

Posted by Fursan Allail On 21:30 | 1 comment

Sosok lentik dengan gaya yang gemulai, tidak bisa kulupakan. Ya, dia seorang waria. Entah bagaimana aku memandangnya. Harus kasihan atau jijik padanya. Tapi dia juga manusia. Dia makhluk ciptaan Tuhan sama seperti aku. Dia juga taat beribadah, sama seperti yang lainnya. Bahkan dia mendirikan sebuah pondok pesantren khusus waria. Bagaimana mungkin ini terjadi. Mencampurkan yang hak dengan yang bathil.

Lebih terkesima lagi saat kulihat ia disalami oleh dua gadis cilik yang masih duduk di sekolah dasar. Dengan penuh rasa hormat, mereka menegurnya dengan panggilan “Bunda“. Ia mengadopsinya lebih dari lima tahun. Saat ayah dan ibu mereka bercerai entah ke mana. Mereka mengais rezeki dengan mengamen di jalanan. Terkadang dari hasil mengamen itu pun tidak mencukupi makan mereka sampai petang hari. Belum lagi mereka harus menyetor kepada kepala preman yang ada di lingkungan tempat mengamen. Sebab itulah Bunda Teresa, begitu sering dipanggil, mengangkat mereka menjadi anaknya.

Tak terbayangkan olehku jika itu terjadi pada adik-adikku tercinta.

“Ayah, Ibu, maafkan aku telah berpikir seperti itu. Amanah kalian tidak akan aku sia-siakan begitu saja," ucapku membatin, menjawab rasa iba dalam hati. Tanda sadar, setetes airmata mengalir, menepi ke ujung dagu. Sejenak lamunanku buyar mendengar suara sms yang masuk ke hp ku.

dhika, jgn lp bsk mengisi pengajian d ponpes mawar…… ust. Anshori.

***

Aku harus mempersiapkan materi untuk esok hari. Kira-kira apa ya yang cocok? Aku teringat saat kemarin Ustadz Anshori memperkenalkanku di hadapan para waria. Ada yang memakai jilbab, kerudung, songkok atau hanya dibalutkan saja dengan selendang. Namun ada juga yang memakai baju koko dan sarung. Rambutnya lurus terurai seperti baru direbonding, bermahkotakan kopiah hitam atau lobe yang terhiasi kemilau aksesoris yang mereka tambahi.

“Dia adalah dai yang dikirim dari Medan kesini untuk memberikan ilmunya yang bermanfaat bagi kita... “ Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Ustadz Anshori saat memperkenalkanku. Tatapan mata mereka aneh. Seperti merasa senang, namun bukan karena mendapat pengajar baru. Mereka memandang wajahku lama. Entah kenapa. Namun tidak semua. Ada sebagian santri juga yang cuek dan menyimak isi pengajian Ustadz Anshori. Pendalaman agamanya jauh lebih tinggi daripadaku, dan niatku juga ingin belajar dengannya.

Runut dan tegas beliau memaparkan akan pengertian hak dan batil. Bahwasannya yang benar tetaplah benar dengan syarat sesuai dengan aturan-aturan Allah, dan yang salah juga demikian. Kedua poin itu tidak bisa dicampuradukkan.

Semuanya tampak menyimak. Setelah pengajian, mereka shalat berjamaah, setelah itu mereka tadarusan. Yang sudah mengerti membaca Al-Quran mengajari yang belum bisa. Begitulah rutinitas mereka seterusnya. Sementara Bunda Teresa, tidak bosan-bosannya mengajak teman-teman waria yang lain untuk bergabung di ponpesnya. Tidak sedikit yang menolak dengan alasan mereka masih kotor. Mereka sadar, pekerjaan malam yang selama ini mereka geluti bukanlah pekerjaan yang halal.

Di dalam ponpes itu juga mereka belajar sekaligus bekerja. Salon Bunda Teresa yang semakin besar dibangun, menambah penghasilan santri yang lain yang menjadi karyawannya.

***

Usai pengajian aku sempat ngobrol dengan Ustadz Anshori. Sejurus kemudian, kami pun terlibat tanya jawab yang serius.

“Tapi, Ustadz, bukankah ini yang namanya mengubah ciptaan Allah?" tanyaku ketus mengejarnya. Namun beliau tetap santai tersenyum.

“Bahkan dada mereka sampai disuntik agar terlihat seperti wanita. Di salon mereka menghiasi orang dengan penampilan yang seksi layaknya wanita pelacur! “ Aku terus melanjutkan. Namun Ustadz Anshori tetap terus tersenyum. Hingga kami tiba di sebuah surau dan shalat berjamaah. Selepas itu ia menjawab pertanyaanku.

***
“Dhika, antum masih perlu banyak belajar dengan membaca situasi dan kondisi. Seandainya tidak ada yang menggagas ponpes itu, bukankah mereka malah jadi parah? Jadi apa mereka? Dengan adanya ponpes ini, kita bisa menyadarkan. Omongan kita didengarkan, karena memang itu pada tempatnya. Kalau mereka sedang berkeliaran malam- malam di jalanan, terus kita dakwahi, apa mungkin mereka mendengar? Bahkan mungkin kita akan dicaci maki atau dilawan dengan fisik. Rasulullah saw juga berdakwah tidak instan. Memerlukan proses yang sangat panjang. Bertahun-tahun. Beliau bukannya disambut malah disambit. Tapi dengan keikhlasan dan kesabaran yang beliau miliki, lambat laun dakwahnya menuai kemenangan,“ terang Ustadz Anshori tenang dan padat. Menyentuh ke dalam hati. Wajahnya yang sering terbilas air wudhu, memancarkan keteduhan di hati.

Beliau menambahkan, bahkan dulu ketika pertama kali dia diminta mengisi pengajian, semua waria masih pakai mukena. Lambat laun, isi pengajian yang terus mengarah kepada kesadaran diri, dengan sendirinya satu per satu dari merekapun mulai berubah dan ingin kembali ke habitat aslinya. Oleh sebab itu sebagian dari mereka mulai ada yang memakai kopiah dan sarung.

Aku merasa bersalah karena menyangka mereka yang tidak-tidak. Aku jadi bersemangat untuk mengisi pengajian esok hari. Ini merupakan satu tantangan dakwah. Aku harus kuat menghadapi ini, sekuat rakyat Palestina yang mempertahankan negaranya. Aku harus bisa menyadarkan mereka dan mengubah akhlak mereka. Insya Allah.

***

Pagi masih belia menyapa dunia. Kulangkahkan kakiku dengan niat ikhlas di jalan-Nya.

“bismillahi tawakaltu alaLlahi la haula wa la quwwata illa billahil aliyyil adzhim…”

Aku tiba di Ponpes Mawar. Tertata rapi dan bersih. Banyak taman bunga, khususnya bunga mawar. Seperti nama ponpesnya. Beberapa santri yang lewat, menyapaku dengan senyum yang tak biasa.

Aku menuju ke surau. Mereka telah menungguku di sana. Langkah kakiku tiba-tiba terhenti, saat kudengar suara orang menjerit histeris tepat di sampingku, kamar santri yang kulewati. Sesosok pria setengah jantan keluar dengan wajah pucat dari kamar itu.

“Tolong, Ustadz! Di..di..di.. di dalam!” ucapnya tergesa. Mukanya berkeringat.

“Iya, didalam ada apa?” jawabku tegas. Ia mulai memelukku. Aku risih. Saat itu, sama sekali tak terlintas pikiran aneh di benakku. Mungkin karena situasi yang panik.

“Di dalam ada ular, Ustadz! “ jawabnya, jarinya menunjuk ke kamar dengan lentik.

Aku masuk dan memeriksa. Beberapa lama kucari ular yang dimaksud, namun tak kutemukan. Bukannya suara desis ular yang kudengar, malah suara pintu yang dikunci.

“Kok dikunci pintunya?" tanyaku heran.

“Iya, Ustadz. Biar ularnya nggak keluar...” jawabnya genit. Matanya kedap-kedip. Ia berganti pakaian, hanya pakai celana boxer dan kaos mini tali satu. Aku jadi semakin jijik, namun semua itu sirna saat kuluruskan niatku.

“Maaf, saya nggak ada waktu untuk bercanda!" ucapku sinis sambil berlalu ingin keluar. Kunci pintunya dicabut dan dimasukkan ke sela dadanya yang gembung disuntik silikon.

“Mau keluar ke mana, Ustadz...? Ayo ambil kuncinya kalau mau keluar..." ucapnya merayu sambil mendekatiku.

Kurang ajar!! Aku dipermainkan! ucapku dalam hati. Tangan kirinya mendarat ke dadaku dan mengelus-elusnya. Yang kananpun menyusul, menyapu pipiku dengan lentik jarinya hingga ke batang leherku. Lama-lama wajahnya mendekat ke wajahku, dan...

“Bugghhhhhh!!”

Bogemku mendarat keras di pipinya. Kesabaranku habis. Aku semakin jijik melihatnya.

“Mana kuncinya?!!” tanyaku keras.

“Oh, main kasar, Ustadz? Ayo, ambil kalau bisa…”

Ya Rabb…. Iblis apa yang sedang aku hadapi ini? bisikku dalam hati.

Tiba-tiba hapeku bergetar dalam kantong. Ada sms masuk…

koq blm dtg ust…..? Bunda Teresa.

Langsung kutekan tombol yes di hapeku, setelah kutampilkan nomor hapenya. Saat tersambung, ragaku terkejut, tertarik kebelakang tanpa sepengetahuanku. Hape itu pun jatuh entah ke mana.

Aku tercampak di atas kasur. Banci itu menarik tubuhku. Tenaganya sangat kuat. Aku terus mencoba mendorong badannya agar ia jatuh. Aku hanya bisa membuang mukaku ke kanan dan kekiri saat ia ingin menciumku. Ia terhempas dan berguling di lantai. Tiba-tiba pintu samping terbuka. Bunda Teresa beserta santri yang lain masuk dan menyaksikan. banci kaleng itu ngacir dengan segera melalui pintu depan. Kamar itu memiliki dua pintu. Satu pintu dalam yang dibuka dari kamar sebelah.

Rupanya, saat aku menelepon Bunda Teresa, hapeku terus aktif. Ia pun mendengarkan apa yang terjadi dalam kamar itu. Ia kenal sekali suara siapa itu. Langsung ia menuju ke kamar itu.

Semua urusan selesai.

Bunda Teresa mohon maaf yang sebesar-besarnya akan kejadian itu. Ternyata ia adalah santri baru. Sebelumnya ia memang kupu-kupu malam. Mencari mangsa dan mencari uang dari dunia malam itu. Wajar kalau ia belum mendapat pendidikan di situ.

Sejak itu aku semakin hati-hati dalam menyiarkan dakwah di Ponpes Mawar. Selalu kuajak mereka untuk muhasabah diri setiap saat. Alhamdulillah, lambat laun mereka mulai sadar dan ingin bertobat sungguh-sungguh. Bunda Teresa juga akan mengganti usaha salonnya dengan toko buku. Untuk menghindari fitnah, Ustadz Anshori menikahkanku dengan putri sulungnya yang baru lulus dari Mesir.

1 comment: