Posted by Fursan Allail On 22:25 | No comments

THE LOST HEART

Pagi yang cerah. Raja siang muncul di ufuk timur. Murai Batu pun turut berkicau dijemur hangat sinarnya. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Gedung TK Aisiyah tak nampak lagi dari spion. Tidak lama aku tiba di perempatan jalan. Lampu lalu lintas menyala merah.

Seorang anak kecil mendendangkan lagu “kasih ibu” diiringi tabuhan kaleng. Usianya sekitar lima tahun. Aku membuka kaca mobil.

“ Terima kasih!” Dia berlari ke trotoar setelah kuberikan uang lima ribu rupiah. Tak henti kupandangi langkahnya. Tiba-tiba, bayangan wajah satu persatul berkelebatan di mataku.

“ Kak, Aira rindu bunda…Bunda di mana Kak?” Aku tersenyum pahit mendengar celotehan adikku satu-satunya.

“ Aira sayang…bunda sekarang ada di surga… Coba Aira lihat ke langit, di sana bunda selalu menjaga Aira…” Miris hatiku sebab aku hanya bisa menjawab seperti demikian ketika Aira menanyakan keberadaan bunda.

“ Kami sudah berusaha maksimal, tapi nyawa Ibu Sakinah tidak dapat diselamatkan. Benturan ke aspal terlalu keras menyentuh kepalanya sehingga pecah” .

“ TIN…TIN…TIN…TIINNNN…..” Aku terhenyak. Suara klakson beruntun terdengar di belakang mobilku. “ Hei! Kau buta ya??? Lampunya sudah menyala hijau!!!” seorang pengemudi memakiku. Aku segera menjalankan mobil. Kalau tidak mereka bisa mengeroyokku.

Yeah! Langit kian membiru. Gumpalan kapas putih merangkai bunga krisan. Lagi-lagi wajah Aira seolah terlukis di antaranya.

“ Kalau bunda di surga, ayah ada di mana Kak?” Aku tersentak. Tak menyangka Aira akan bertanya seperti itu. “ Kak Raya…teman-teman Aira semuanya punya ayah, kenapa Aira tidak…?” Ah, polos sekali Aira. Tapi aku hanya bisa diam. Aku sendiri tidak tahu siapa ayahku. “ Kak Raya…”

“ Aira sayang… sebentar lagi bel, Aira masuk kelas ya…?”

“ Kak Raya belum jawab pertanyaan Aira…”

“ Aira…”

“ Pokoknya Aira mau bertemu ayah!” Aira berlari ke dalam kelas.

“ Aira…” Aku tak jadi memanggilnya. Lagipula bel sudah berbunyi. Ah, Aira…



*****

Hari ini aku sibuk memikirkan Aira. Kemana aku harus mencari ayah. Sedangkan aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Bunda juga tidak cerita apapun tentang ayah. Aku lahir tanpa ayah. Setiap kali aku bertanya pada bunda pasti hanya dijawab dengan tangisan. Jika sudah begitu, aku tidak tega meneruskan pertanyaanku.

“ Selamat pagi Soraya!” Sam menyapaku saat aku baru masuk ruangan kerja. Aku menyunggingkan senyuman. “ Kau tidak seperti biasanya tapi syukurlah kau cepat datang. Para perawat sedang panik “

“ Apa yang terjadi?”

“ Pasien kamar 103 mengamuk lagi “

“ Aku akan mengatasinya “ kataku sembari keluar ruangan dan menutup pintu.



Aku menyusuri selasar menuju kamar 103. Kamar seorang laki-laki tua yang terletak di ujung bangsal rumah sakit. Sengaja di tempatkan di situ karena dia sering mengamuk. Benar saja ketika aku sampai, laki-laki itu memang sedang berteriak sambil mengacungkan pisau.

“ Masya Allah! Kalian menyingkirlah! Lanjutkan pekerjaan kalian, biar aku yang urus dia” perintahku pada para perawat. Pelan kudekati dia. “ Pak Gustavo… tenang ya… Ada Raya di sini. Raya janji, mereka tidak akan mengganggu Bapak…”. Aku sedikit tersenyum. Ku tatap matanya dengan penuh kelembutan.

“ Sini… pisaunya biar Raya yang pegang…” Aku mengulurkan tanganku. Sepertinya Gustavo mulai luluh. “ Benar ya? Mereka tidak akan menyentuh Bapak lagi.. Bapak hanya mau dengan Raya “

“ Iya Pak, Raya janji…ayo berikan pisaunya…” Gustavo menyerahkan pisau itu kepadaku. Lantas kuserahkan pada seorang perawat yang masih di kamar 103.

Begitulah Gustavo. Dia sering mengamuk sendiri. Kadang juga dia sangat lembut dan baik. Sikapnya sangat kebapakan. Diam-diam aku pun merasa nyaman di dekatnya. Meski kusadari dia gila. Aku bekerja di rumah sakit jiwa ini baru setengah tahun. Tapi Gustavo sudah di sini sejak 21 tahun yang lalu. Tak ada keluarga yang datang menjenguknya karena memang dia tak punya keluarga. Entah bagaimana ia sampai di tempat ini. Aku bertemu dia ketika dia mencoba kabur dari rumah sakit. Tatkala itu hari pertama aku kerja. Dia dan aku memakai kemeja yang sama dengan corak yang sama pula. Berwarna putih. Kemeja pemberian bunda. Beliau yang menjahitkan sendiri untukku.

Lupakan tentang Gustavo! Lagipula dia sudah tenang. Walaupun dia masih berkata-kata sendirian.” L’amour n ‘est pas parceque mais malgre…Romo please…” Masa bodoh. Kutinggalkan dia di taman.

Aku teringat Aira. Teringat pada permintaannya. Ya, aku harus mencari ayah. Mungkin eyang kakung tahu. Aku akan mengambil cuti beberapa hari. Kemudian aku pergi ke Yogyakarta bersama Aira tentunya.

*****

“ Jangan pergi Raya…!” Gustavo menghadang mobilku setelah aku selesai pamit pada Sam. Sekonyong-konyong aku menginjak rem. Aira kaget. “ Siapa dia Kak?”

“ Bukan siapa-siapa Aira. Kau tunggu di sini”, kataku sembari turun dari mobil. Kubujuk Gustavo agar kembali ke bangsal. Dia tetap tidak mau. Malah memegangi tanganku. “ Tidak Raya, jangan pergi… atau kau tidak akan pernah melihat Bapak lagi “

“ Pak… Raya pergi hanya dua hari…”. Aku mencoba menarik tanganku. Tapi terlalu kuat. Dia seperti tak ingin kehilangan aku. Sam dan dua orang perawat datang.

“ Pergilah Raya. Biar kami yang urus dia “. Sam menyeretnya. Kasar.

“ Maafkan Raya Pak…” Aku melepas paksa cengkramannya. Kemudian berlari masuk ke dalam mobilku. Aira masih tertegun. Mata beningnya menatap iba. “Kasihan orang tua itu Kak…”

“ Sudahlah, dia hanya orang gila “

Aku masih mendengar teriakan Gustavo ketika perlahan mobilku meninggalkan halaman rumah sakit. ” L’amour n ‘est pas parceque mais malgre…Raya please…” Teriakan yang sama.

*****

Eyang kakung kaget karena kedatanganku yang sangat mendadak. Biasanya aku mengabari kalau mau ke Yogyakarta. Pagi-pagi sekali saat Aira masih tertidur lelap, kutemui eyang di beranda rumah. Aku mengutarakan maksudku menemui eyang. Tak kusangka. Roman mukanya langsung berubah.

“ Untuk apa kau menanyakan ayahmu? Kau tidak punya ayah!”

“ Bukan Raya yang meminta ayah tapi….Aira “ Eyang nampak pucat pasi. Aku melihat kekhawatiran yang mendalam di matanya. “ Eyang…Raya mohon… beritahu siapa dan di mana ayah kami. Demi Aira… Dia masih kecil Eyang. Apa Eyang tega melihat dia besar tanpa seorang ayah?” Eyang terduduk lesu di kursi goyang. Pandangannya kosong. “ Aira sangat merindukan kasih sayang orang tua, sedangkan bunda telah tiada… siapa lagi yang akan menjadi tempat Aira berteduh? Raya saja tidak cukup Eyang…” lanjutku. Airmataku menetes. Aku bersimpuh di hadapan eyang. Ku pegang tangannya. “ Raya mohon Eyang…”

Eyang beranjak dari kursi goyang. Dia berjalan menuju kamar utama. Tak lama Eyang keluar dengan membawa sebuah diary bersampul merah. Eyang menyodorkan diary itu padaku. “ Ini milik Sakinah, bundamu. Ambilah…” Aku menerima dengan rasa penasaran. “ Eyang… Raya ingin ayah, bukan diary ini…”

“ Kelak kau akan tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah kau baca diary Sakinah…Maafkan eyang”. Eyang meninggalkan aku sendirian. Kesedihan itu terlihat jelas dari raut wajah eyang. Belum sempat ku buka diary, Aira datang sambil mengucek matanya. Aku meraih tubuhnya. “ Besok kita pulang, Aira. Kau harus sekolah “

“ Kak Raya, dua hari lagi Aira ulang tahun. Kak Raya kan janji mau bawa ayah ke rumah…”

“ Aira pasti bertemu ayah”, ujarku sembari membelai rambut Aira.

*****

Matahari tepat bertengger di atas kepala. Mobil yang kukendarai melaju kencang. Sudah kutinggalkan kota Yogyakarta beberapa jam yang lalu. Kini aku sampai di perempatan jalan dekat rumah sakit tempatku bekerja. Lampu merah menyala. Kulirik Aira. Dia tertidur di jok sebelahku. Kemudian pandangaku beralih ke buku diary bunda yang kuletakan di samping Aira. Iseng, kubuka diary itu sambil menunggu lampu menyala hijau. Sekitar tiga menit.

Aku membuka halaman pertama. Ada foto bunda. Halaman kedua… Masya Allah! Bunda menuliskan tentang… ayah!

Romo memisahkan aku dengan kekasihku karena dia adalah keturunan orang gila. Aku tidak peduli. Cinta itu buta. Lagipula dia tidak gila seperti ayahnya. Lantas Romo membawaku ke Yogyakarta dalam keadaan hamil. Syukurlah romo tidak membunuh anakku. Aku dijodohkan dengan Arya. Tapi Arya membenci aku setelah dia tahu bahwa anak kedua yang kukandung adalah anak Gustavo. Diam-diam aku memang masih berhubungan dengan Gustavo.



Gustavo? Ya Tuhan… foto ini… Kuteruskan membaca.

Kebencian Arya membuatnya buta hati sehingga membuang Gustavo ke suatu tempat. Aku sendiri tidak tahu di mana Gustavo. Mungkin takdirku adalah Arya. Pria yang menikahiku tapi sama sekali tak kucintai. Oh Gustavo… L’amour n ‘est pas parceque mais malgre. Seperti itulah aku mencintaimu.



“TIIIIINNNNN……!!!!” lagi-lagi suara klakson pnegemudi di belakang mobilku membuatku terkejut. Segera kujalankan mobil. Aku harus cepat sampai ke rumah sakit. Tapi tiba-tiba handphoneku berdering. Sam?

“ Halo Sam, ada apa?”

“ Gawat Raya! Gustavo menghilang dari kamarnya!” suara di seberang terdengar kalut. “ Apa??? Coba kau cari lagi! Barang kali dia di taman belakang” Aku makin kencang mengendarai mobil.

“ Seluruh penjuru rumah sakit telah kami kelilingi, Gustavo memang melarikan diri dari sini. Kau cepatlah kemari!”

“ Baik, aku akan langsung ke sana sekarang. Apakah dia masih pakai seragam rumah sakit?”

“ Tidak Raya. Nampaknya dia memakai pakaian yang sama ketika dia sampai di sini” Prak!!! HP ku jatuh. Aku mengambilnya. Yah dapat! Tiba-tiba…. CIIIITTTTTTTT!!!!!!! “Aaakhhhh….!!!!” Mendadak kuinjak rem. Terlambat. Aku menabrak seorang laki-laki tua berkemeja putih. Aku turun dari mobil. Astaghfirullah… laki-laki ini….

0 komentar:

Post a Comment